Wahana antariksa New Horizons milik badan antariksa NASA telah terbang sejauh lebih dari 6,4 miliar km dari Bumi. Wahana itu menemukan ada miliaran galaksi di alam semesta ini.
Penemuan yang didapatkan oleh Wahana NASA tersebut tidak mudah. Miliaran galaksi itu bersinar terlalu redup. Sehingga untuk menemukannya, wahana antariksa harus menepi ke bagian alam semesta yang memiliki cahaya paling redup, dilansir New Atlas, Minggu (17/1/2021).
Galaksi-galaksi itu seperti melihat bintang. Penemu seperti perlu berkendara ke luar kota, jauh dari polusi cahaya agar cahaya bintang bisa tampak di langit yang gelap.
Diketahui, New Horizons merupakan objek buatan manusia yang paling jauh di luar sana. Terbang melintasi Pluto pada 2015 dan Sabuk Kuiper Arrokoth pada 2019, akhirnya wahana antariksa tersebut berada lebih dari 6,4 miliar km dari Bumi.
Pada jarak miliara km itu, luar angkasa sekitar 10 kali lebih gelap dari yang diperkirakan sebelumnya. Sehingga, tim astronom menggunakan New Horizons demi memeriksa latar belakang optik kosmik.
Latar belakang optik kosmik inilah yang memberi tahu jumlah total semua bintang yang pernah terbentuk 450.000 tahun pertama setelah Big Bang.
“Ini membatasi jumlah total galaksi yang terbentuk dan di mana lokasi mereka,” kata Marc Postman dari Space Telescope Science Institute yang juga penulis utama hasil studi.
Hasil studi juga mengungkap, ada beberapa ratus miliar galaksi yang tak terlihat, tersembunyi di kegelapan. Angka itu memang kedengarannya sangat banyak, tetapi masih lebih sedikit dari data Hubble yang mengungkapkan bahwa ada sekitar dua triliun galaksi.
Tim peneliti juga menganalisis gambar dari arsip New Horizons. Salah satunya, cahaya bintang Bima Sakti yang memantulkan debu antarbintang sehingga meninggalkan cahaya yang sangat redup namun masih dapat diukur.
Cahaya itu kemungkinan berasal dari galaksi katai yang tersebar relatif dekat atau galaksi yang lebih redup pada jarak yang lebih jauh. Namun, bisa juga cahaya itu berasal dari bintang yang tak terikat dengan galaksi.
Saat ini, para peneliti belum mengetahui asal cahaya itu. Pengamatan dengan menggunakan Teleskop James Webb yang akan diluncurkan bulan Oktober nantinya diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.