Studi mengungkap bahwa pertambangan merupakan salah satu pekerjaan paling berbahaya di dunia untuk risiko cedera, kematian, dan efek kesehatan jangka panjang yang terkait dengannya. Efek jangka panjang pertambangan batu bara berupa gangguan pernapasan pneumokoniosis, asbestosis, serta silikosis.
Risiko kesehatan tersebut berdasarkan jenis kegiatan pertambangan yaitu penambangan dalam dan terbuka. Tambang batu bara menghasilkan banyak debu yang jika terhirup dapat menyebabkan flek hitam di paru-paru para pekerja maupun terhadap orang lain yang tinggal di sekitarnya.
Conserve Energy Future menjelaskan hasil studi tersebut bahwa peledakan dan pengeboran dalam proses pertambangan juga menghasilkan mineral halus pada debu. Hal itu bisa terhirup dan menumpuk di paru-paru sehingga jadi penyebab pneumokoniosis.
Saat penambang menghirup kuarsa atau kristal silika dalam jumlah yang lebih, kemungkinan besar ia akan menderita penyakit tidak dapat disembuhkan yang disebut silikosis.
Peneliti dari West Virginia University, Dr. Michael Hendryx mengatakan, pekerja dan masyarakat yang ada di dekat pertambangan batu bara memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat penyakit jantung, pernapasan, serta ginjal kronis, seperti dikutip dalam artikel The Harvard College Global Health Review (HCGHR).
Salah satu efek negatif pertambangan batu bara terhadap lingkungan yakni mempengaruhi perairan di permukaan atau bawah tanah. Kegiatan pertambangan menghasilkan banyak bahan kimia yang bisa meracuni perairan.
Selain itu, penggunaan bahan peledak serta aktivitas lain dalam proses pertambangan bisa menyebabkan erosi, menghapus keanekaragaman tumbuhan dan hewan akan kehilangan habitat, dan transfer racun di rantai makanan.
Energy Information Administration Amerika Serikat juga menjelaskan bahwa fly ash, limbah debu batu bara dari pertambangan dulu dilepaskan ke udara melalui pembakaran, sayangnya hal ini sudah dilarang oleh undang-undang. Emisi fly ash wajib ditangkap oleh perangkat pengendalian polusi, begitu pun dengan limbah bottom ash.
Di AS sendiri, penambang batu bara wajib mengontrol limbah yang dilepaskan ke udara dan air. Pemerintah AS bekerja sama dengan industri telah menciptakan teknologi untuk mengurangi limbah hingga pemanfaatan energi batu bara agar lebih efisien.
Sementara di Indonesia, diketahui baru saja mengeluarkan fly ash dan bottom ash dari kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aturan tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo yang berlaku mulai 2 Februari 2021. Sepanjang dikategorikan B3, fly ash dan bottom ash dinilai tidak dapat dimanfaatkan.
Pengusaha mendukung limbah batu bara ini keluar dari B3. Lantaran, dalam pembangunan jalan, jembatan, dan timbunan, reklamasi bekas tambang, serta untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.