Agustus tahun 2020 lalu terjadi ledakan di Pelabuhan Beirut, Lebanon. Ledakan ini mengundang banyak atensi, tak terkecuali para peneliti. Berdasarkan perhitungan peneliti, ledakan ini puluhan kali lebih kuat dari bom atom yang menghancurkan Hiroshima karena memiliki energinya setara 200-500 ton TNT.
Ledakan dahsyat ini memorak-porandakkan kota, menghancurkan gedung, menghilangkan nyawa lebih dari 100 orang, serta menyebabkan ribuan orang terluka. Selain itu, baru-baru ini ditemukan bahwa ledakan itu mengguncang lapisan-lapisan atas atmosfer Bumi.
Peneliti dari Institusi Teknologi Nasional India dan Universitas Hokkaido di Jepang telah melakukan pengukuran gangguan elektrik akibat ledakan tersebut di ionosfer bagian atas atmosfer yang terionisasi oleh radiasi Matahari, seperti dikutip dari Science Alert, Minggu (20/3/2021).
Para peneliti melakukan hal ini dengan menggunakan variasi fase pada transmisi gelombang mikro yang dikirimkan oleh Global Navigation Satellite System pada hari letusan. Para peneliti tersebut memperhitungkan perubahan distribusi elektron di ionosfer sebagai pertanda adanya gelombang akustik melewati gas ionosfer.
Teknik ini sebenarnya telah digunakan sejak 1990-an saat jaringan satelit kali pertama diluncurkan. Teknik ini digunakan untuk mengetahui besar guncangan yang melewati lapisan atas atmosfer, mulai dari letusan gunung berapi hingga uji coba nuklir.
Namun, penggunaan metode ini dalam mengukur dampak ledakan Beirut memiliki hambatan. Hal ini disebabkan oleh ledakan tersebut terjadi menjelang matahari terbenam sehingga ada kemungkinan sinyal tertutup abnormalitas ionosfer, gelembung plasma ekuator.
Akan tetapi, saat ledakan Beirut terjadi, peneliti tidak mendeteksi adanya abnormalitas ionosfer sehingga bisa mendapatkan hasil penelitian yang baik. Kosuke Heki, peneliti Universitas Hokkaido, mengatakan bahwa gelombang akibat ledakan bergerak di ionosfer ke arah selatan dengan kecepatan 0,8 km per detik. Gelombang yang dihasilkan bahkan bisa dibandingkan dengan beberapa letusan gunung berapi di Jepang dan ditemukan lebih berdampak pada ionosfer dibandingkan letusan Gunung Berapi Asama pada 2004.
Tim peneliti juga menemukan bahwa selain memberikan pengetahuan baru, penemuan mereka juga bisa menjadi petunjuk untuk mengawasi uji coba senjata di negara-negara berbahaya. Karena dengan membangun database tanda akustik yang bisa dideteksi oleh GNSN, para ahli dan pemerintah di dunia bisa mengetahui sebab ledakan hanya dari dampaknya terhadap ionosfer.