Seiring perkembangan zaman, isu plagiarisme dan apropriasi dalam seni digital menjadi tren. Sebab, dunia seni berevolusi menjadi peluang usaha lintas negara berkat Crypto Art, sebuah teknologi blockchain.
Anggota komunitas Crypto Art, E Putra menyebut, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiarism berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta.
“Pertanyaannya: apa yang dimaksud melanggar hak cipta? Apakah bentuk, teknik, atau ide karya seorang seniman yang terinspirasi karya seorang seniman lainnya termasuk melanggar hak cipta?” ungkap E Putra dikutip dari Antara, Jumat (2/4/2021).
Kurator seni rupa dari Yogyakarta, Wahyudin mengungkapkan, perkara hak cipta di dunia seni rupa kontemporer merupakan perkara yang kompleks, yang lebih banyak berpusat pada aspek hukum dibanding estetika.
Soal plagiarisme, Wahyuddin berpendapat bahwa plagiarisme adalah praktik pengatasnamaan (dengan tanda tangan) karya seorang seniman. Contohnya lukisan pemandangan S Sudjojono, padahal S Sudjojono tak pernah membuat lukisan itu.
“Itu sebabnya, untuk membuktikan perkara “plagiarisme” jika dipandang dalam perspektif “asli-palsu” adalah hal yang terbilang sulit,” papar Wahyuddin.
Sementara tentang apropriasi, dalam seni rupa kontemporer, menurut Wahyuddin, adalah sebuah metode artistik yang memungkinkan seorang seniman memakai bentuk, teknik, dan ide karya seniman lainnya.
Kata lainnya, apropriasi merupakan plagiarisme yang sah. Contohnya, lukisan Mona Lisa oleh Leonardo da Vinci dari abad ke-16, kini entah berapa banyak seniman yang mengapropriasinya.
Salah satu peng-apropriasi yang yang paling terkenal adalah Marcel Duchamp. Pada 1919, ia mengapropriasi lukisan Mona Lisa dengan menambahkan kumis dan jenggot tipis sebagai elemen parodi.
Yang mengherankan, lukisan berjudul “L.H.O.O.Q Mona Lisa with Moustache” tersebut justru terjual di Paris dengan harga fantastis, yakni Rp10 miliar, dan Duchamp tak dianggap melakukan plagiarisme atas karya Da Vinci.
Oleh sebab itu, sudah banyak seniman yang mempraktikkan apropriasi dalam proses kreatif mereka, salah satunya di Indonesia. Salah satu yang dikenal luas yakni perupa dari Yogyakarta, Agus Suwage. Pada tahun 2006, ia mengapropriasi Mona Lisa Leonardo da Vinci dengan menambahkan gestur merokok.
Wahyudin juga menyinggung antara Twisted Vacancy dan Ardneks. Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan pengalamannya di dunia seni rupa kontemporer, yang dilakukan oleh Twisted Vacancy bukanlah plagiarisme, tapi apropriasi.
“Medium yang dihadirkan Twisted Vacancy pun dalam bentuk bergerak, itu berbeda dengan Ardneks. Yang saya lihat, Twisted Vacancy memiliki kecenderungan artistik yang sama dengan Ardneks. Namun, tak ada seorang pun yang bisa melarang hal itu,” beber Wahyudin.
Pada akhirnya, Wahyudin menyimpulkan bahwa apropriasi lazim dan legal dalam dunia seni rupa kontemporer. Sebab, karya seni tercipta berdasarkan hal yang dilihat, didengar, maupun kebiasaan sehari-hari.