in

Riset: Perubahan Iklim Penyebab Kawasan Keanekaragaman Hayati Hancur

Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutterstock

Perubahan iklim yang tak terkendali disebut menjadi penyebab hancurnya kawasan keanekaragaman hayati terbaik dunia. Pendapat ini dibuktikan oleh sebuah studi yang telah diterbitkan dalam jurnal Biological Conservation, Jumat, 9 April 2021.

Penelitian ilmiah tersebut menganalisis hampir 300 titik panas keanekaragaman hayati, tempat dengan jumlah spesies hewan dan tumbuhan yang sangat banyak, di darat dan di laut. Peneliti menemukan, spesies endemik 2,7 kali lebih mungkin punah yang peningkatan suhunya tak terkendali dibanding spesies yang tersebar luas.

Penulis utama studi yang merupakan peneliti di Universitas Federal Rio de Janeiro, Stella Manes mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena mereka hanya ditemukan di satu tempat. Menurutnya, jika perubahan iklim mengubah habitat tempat tinggal spesies endemik tersebut, mereka pun akan mudah punah.

“Perubahan iklim mengancam daerah yang dipenuhi spesies yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia,” ungkap Manes.

“Risiko spesies tersebut hilang selamanya meningkat lebih dari 10 kali lipat, jika kita melewatkan tujuan Perjanjian Paris,” imbuh Manes.

Tim ilmuwan pun sepakat jika sebagian besar spesies endemik akan dapat bertahan, jika negara-negara mampu mengurangi emisi sesuai Perjanjian Paris.

Untuk diketahui, Perjanjian Paris (Paris Agreement) merupakan perjanjian dalam konvensi kerangka kerja perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengawal reduksi emisi karbon dioksida efektif yang mulai berlaku tahun 2020.

Komitmen negara-negara dinyatakan lewat Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, plus aksi pra-2020. Perjanjian Paris berlaku jika diratifikasi oleh sekitar 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55 persen emisi gas rumah kaca.

Untuk realisasinnya, negara-negara yang melakukan komitmen Perjanjian Paris tersebut harus menekan emisi di bawah 2 derajat Celcius.

Dalam penelitian ini, tim ilmuwan menemukan total hanya 2 persen spesies endemik darat dan 2 persen spesies laut endemik yang akan menghadapi kepunahan pada suhu 1,5 derajat Celcius. Sedangkan yang dapat bertahan jika suhu mencapai 2 derajat Celcius, hanya sekitar 4 persen dari masing-masing spesies endemik.

Bukan hanya itu, para peneliti juga menemukan banyak dari titik panas tersebut berisi spesies endemik unik yang berada di satu lokasi geografis, seperti satu pulau atau satu negara.

Tim ilmuwan dunia menemukan, jika planet memanas lebih dari 3 derajat Celcius, maka sepertiga spesies endemik yang ada di darat dan sekitar setengah dari spesies endemik yang ada di laut, akan menghadapi kepunahan.

Menurut Peneliti di Global Biology Group, Stellenbosch University, Guy F Midgley, analisis ini menambahkan rasa lebih dalam menilai risiko perubahan iklim terhadap keanekargaman hayati. Ia menegaskan studi ini dapat membantu menjelaskan berbagai proyeksi kerentanan yang ditemukan dalam literatur.

Para ilmuwan berharap, komitmen kuat dari para pemimpin global menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim di Glasgow akhir tahun 2021, dapat membuat dunia berada di jalur yang tepat untuk memenuhi Perjanjian Paris.

“Analisis menunjukkan, bahwa 20 persen dari semua spesies terancam punah karena perubahan iklim dalam beberapa dekade mendatang, kecuali jika kita bertindak sekarang,” ungkap Mark Costello, pakar kelautan dari Universitas Nord dan Universitas Auckland yang tergabung dalam penulisan studi ini.

Manes menegaskan, keanekaragaman hayati memiliki nilai lebih daripada yang terlihat. Semakin banyak keanekaragaman spesies, maka semakin baik pula kesehatan alam di suatu kawasan tersebut.

“Keanekaragaman juga melindungi dari ancaman seperti perubahan iklim,” tegas Manes.