Kapal Selam KRI Nanggala-402 yang hilang kontak sejak Rabu (21/4/2021) di perairan Bali, terdeteksi berada di kedalaman 838 meter di bawah permukaan laut. Hal itu diungkap Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono.
Semua awak kapal selam tersebut sudah dinyatakan gugur. Kedalaman laut disebut membuat penyelamatan dan evakuasi cukup sulit dilakukan.
Sementara untuk mengetahui kondisi di ratusan meter kedalaman air laut, Laboratorium Lingkungan Kelautan Pasifik milik Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (PMEL NOAA) menyebutkan kedalaman laut rata-rata adalah 12.566 kaki atau sekitar 3.800 meter.
Sementara laut terdalam sejauh ini tercatat berada di kedalaman 36.200 kaki atau 11.000 meter. Kedalaman laut ini juga akan dipengaruhi tekanan hidrostatis yang dirasakan berbeda-beda oleh setiap makhluk.
Tekanan hidrostatis akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman yang diukur dari permukaan zat cair, akibat adanya gaya gravitasi.
Semakin dalam makhluk hidup menyelam dari permukaan air, semakin banyak pula volume air yang ada di atas kepala dengan permukaan air, sehingga tekanan yang diberikan air pada tubuh makhluk hidup akan semakin besar.
PMEL NOAA lantas mencoba membandingkan tekanan dalam istilah atmosfer (atm). 1 atm sama dengan berat atm bumi di permukaan laut atau sekitar 14,6 pon per inci persegi.
Apabila manusia berada di permukaan laut, setiap inci persegi permukaan akan dibebankan gaya seberat 14,6 pon atau setara 6,6 kilogram. Kemudian, tekanan meningkat sekitar satu atmosfer untuk setiap 10 meter kedalaman air.
Jika tekanan dari permukaan laut adalah 1 atm, maka tekanan di kedalaman 850 meter seperti yang dilaporkan posisi KRI Nanggala-402 adalah 85 atm. Sementara pada kebanyakan manusia, paru-paru tanpa alat bantu maksimalnya mampu menahan tekanan hingga sekitar 4 atm.
Jika manusia menyelam ke dalam lautan, tekanan yang ada di dasar lautan adalah kombinasi tekanan atmosfer ditambah dengan tekanan dari kedalaman lautan. Karena atmosfer sudah punya tekanan sebesar 1 atm, sisa kemampuan paru-paru adalah sekitar 3 atm.
Lebih lanjut, pada kedalaman 332 meter disepakati sebagai batas terdalam para scuba menyelam, seperti yang berhasil dilakukan oleh Ahmed Gabr pada 2014. Batas itu juga sebagai penanda keadaan cahaya mulai benar-benar gelap.
Gelap di laut juga menandakan bahwa keadaan di bawah sana sangat dingin. Di bawah kedalaman sekitar 656 kaki atau sekitar 200 meter, perairan laut disebut memiliki suhu rata-rata hanya 4 derajat celcius. Sementara di sekitar kedalaman 1.000 meter, cahaya matahari sudah tidak dapat masuk, sehingga benar-benar gelap gulita.
Selain itu, manusia juga membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup di kedalaman laut. Oksigen membentuk 21 persen dari udara yang manusia hirup, sementara sekitar 78 persen dari udara yang manusia hirup adalah gas nitrogen.
Lalu, tekanan hidrostatis yang meningkat kemungkinan akan lebih banyak menghasilkan oksigen, dan lebih banyak nitrogen larut dalam darah manusia. Dengan kondisi 100 kaki atau 30,4 meter di bawah kedalaman laut, nitrogen akan berbahaya bagi manusia.
Narkosis nitrogen terjadi karena terlalu banyak nitrogen yang dipaksa masuk ke aliran darah. Kondisi itu pada akhirnya akan mengakibatkan pingsan dan tidur. Adapun sebelum tahap pingsan, penyelam disebut bakal menjadi pusing.
Dilansir Medical Daily, pada kedalaman sekitar 100 kaki atau 30,48 meter, manusia akan mengalami empat kali tekanan normal. Kondisi itu menyebabkan jaringan spons paru-paru mulai berkontraksi, yang akan membuat penyelam hanya memiliki sedikit pasokan udara yang terhirup di permukaan.
Pada saat yang sama, tekanan dari air akan mendorong air ke dalam mulut, mengisi kembali paru-paru manusia dengan air, bukan udara. Selain itu, semakin lama manusia di bawa ke kedalaman laut, detak jantung manusia bisa turun menjadi hanya 14 detak per menit.
“Berapa banyak air yang bisa masuk sebelum manusia mulai mengeluarkan darah ke paru-paru? Sehingga tidak jarang penyelam yang dalam akan batuk darah ketika mereka muncul ke permukaan,” ungkap Dr. Claes Lundgren, Direktur Pusat Penelitian dalam Lingkungan Khusus di Sekolah Kedokteran Universitas Buffalo.