in

Frekuensi dan Standarisasi: Sengkarut Pembangunan Jaringan 5G di Indonesia

Ilustrasi 5G. Foto: Shutterstock

Pengembangan jaringan 5G di Indonesia masih mengalami kendala. Ada dua kendala yang disebut jadi penghalang yakni yang berkaitan dengan dengan spektrum frekuensi dan standardisasi.

Hal tersebut diungkapkan Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute. Heru menuturkan sebenarnya keduanya bisa mengikuti trend di banyak negara dan aturan yang sudah ditetapkan International Telecommunication Union (ITU).

“Dalam hal frekuensi misalnya, utamanya di 3,5 GHz, kemudian 2,5/2,6 GHz dan 700 MHz,” papar Heru Sutadi dikutip dari CNN, Jumat (9/5/2021).

Dia berkata frekuensi itu sudah banyak dipakai di banyak negara. Sehingga, perlu jadi pilihan Indonesia agar dapat interoperabilitas dan perangkat yang lebih murah dibanding frekuensi eksklusif yang hanya dipakai di beberapa negara.

“Jadi ini harus fokus dan segera ada upaya pembebasan mengingat ada penggunaan di frekuensi tersebut saat ini,” jelas Heru.

Heru menyampaikan Indonesia sebaiknya mengikuti ITU dalam hal standarisasi. Dia meminta pemerintah tidak membuat standar sendiri.

“Sebab kita pernah gagal saat mengadopsi WiMax dengan standar yang berbeda,” beber Heru.

Di sisi lain, Heru menyebut Undang-Undang Cipta Kerja membantu karena ada bahasan mengenai Analog Switch Off (ASO), dimana maksimal selesai 2 November 2022. Sehingga frekuensi itu akan siap juga ketika digunakan.

Anggota Tim Pelaksana Wantiknas, Garuda Sugardo menyatakan ada kekeliruan mendasar tentang 5G, yakni persepsi bahwa penggelaran jaringannya haruslah seluas 3G atau 4G. Dia menilai hal ini terjadi tidak hanya di kalangan masyarakat awam, tetapi juga di strata penentu kebijakan.

Platform 5G juga dianggap menjanjikan waktu latensi yang amat singkat, sekitar 4 ms atau 5 kali dibandingkan 4G. Lengkap sudah, dia mengungkapkan bahwa mimpi mengunduh film berdurasi putar 1 jam hanya dilakukan dalam sekejap.

“Orang lantas berangan-angan bahwa dengan ponsel 5G di genggamannya, maka ia bisa melakukan akses internet dengan transmission speed 20 Gbps atau 20 kali dari 4G LTE yang digunakannya sekarang,” papar Garuda.

Agar tidak terjadi kesalahan tafsir, dia menyarankan penggelaran seluler 5G di fase awal haruslah menyasar segmen kawasan industri, pabrik berteknologi maju, rumah sakit besar, bandara/ pelabuhan dan sebangsanya. Dengan coverage yang terbatas atau klaster-klaster.

Garuda juga menyampaikan tersediaya spektrum frekuensi sebagai ‘lahan’ adalah prasyarat utama untuk penggelaran 5G.

Masalahnya, pita bebas yang tersedia dianggap amat terbatas, tapi operator peminat 5G banyak dan spektrum yang ada saat ini masih diduduki oleh operator BWA (WiMax), transmisi satelit, televisi analog dan lain-lain.

Garuda memandang lelang pita frekuensi radio di pita 2,3 GHz pada rentang 2360 – 2390 MHz (30 Mhz) yang dilakukan Kominfo sekitar akhir tahun 2020 yang lalu, sebenarnya adalah langkah maju menuju era 5G Indonesia.

Tiga operator, yaitu Telkomsel, Smartfren dan Hutchison Tri, masing-masing mendapatkan 10 MHz dengan harga penawaran yang sama Rp144,8 miliar, atau US$10 juta.

“Artinya harga spektrum di 2,3 GHz tersebut, sekitar US$1 juta per 1Mhz band. Sayang prosesnya kemudian dihentikan (dibatalkan) pada minggu ke-3 Januari 2021. Mengapa? Banyak yang menduga harga tersebut terlalu ‘murah’, bila kemudian juga menjadi referensi sebagai uang ganti rugi bagi pemilik lahan di spektrum tersebut,” ujarnya.

Garuda mengungkapkan, harapan berikutnya adalah program ASO bagi televisi analog bermigrasi ke sistem digital. Dengan ASO maka spektrum 700 MHz yang berlebih dapat digunakan untuk mobile internet broadband 5G.

“Selain itu, spektrum frekuensi di 3,5 GHz yang saat ini antara lain digunakan untuk transmisi satelit Telkom, sangat ideal dipakai berbagi untuk 5G,” ujar Garuda.

Lebih dari itu, Garuda menyampaikan ada tiga lapisan spektrum yang bisa dialokasikan bagi 5G, yaitu: lower band (orientasi cakupan) di pita 700, 800, 900 Mhz; mid band (orientasi kapasitas) di pita 2,3 atau 2,6, atau 3,5 GHz; dan upper band (orientasi kendali) di pita 26 dan 28 GHz.

“Hal ini dimungkinkan karena 5G termasuk dalam network neutrality,” ungkap Garuda.