Menyelamatkan suatu spesies terkadang berarti harus merawat satu hewan pada satu waktu. Itulah yang dilakukan sekelompok dokter hewan yang bekerja di The Wildlife Hospital. Rumah sakit itu berada di Kota Dunedin, Selandia Baru.
Di sana, para dokter hewan mengambil langkah kecil demi tujuan besar, dengan memberi perawatan eksklusif kepada penguin, hewan asli negara itu.
Berada di dekat Semenanjung Otago yang merupakan rumah banyak satwa liar Pulau Selatan Selandia Baru, rumah sakit itu berada di tempat ideal untuk melayani spesies yang paling rentan. Hampir 80 persen satwa liar asli Selandia Baru terancam punah, dari burung kakapo hingga singa laut.
Artinya, tindakan medis untuk setiap tulang bermasalah dan perhatian terhadap binatang yang kehilangan induk akan sangat berpengaruh pada spesies yang tengah berkembang maupun menuju punah.
Penguin bermata kuning, yang disebut hoiho (teriakan kebisingan dalam bahasa Maori), adalah spesies penguin terbesar yang hidup dan berkembang biak di daratan Selandia Baru. Namun dalam beberapa dekade terakhir, populasinya menurun.
Konsekuensinya, pemerintah Selandia Baru memasukkan hewan akuatik jenis burung itu ke dalam daftar binatang yang terancam punah secara nasional. Di sisi lain, jumlah mereka yang semakin sedikit membuat burung laut bermata kuning ini menjadi salah satu penguin paling langka di dunia.
Hoiho adalah salah satu spesies penguin paling terancam di dunia. Kini hanya ada sekitar 4.000 hingga 5.000 ekor hoiho dewasa yang tersisa di alam liar.
Kebanyakan penguin ini dirawat di rumah sakit karena berbagai alasan, antara lain kelaparan, cedera, dan mengidap penyakit.
Setiap penguin ini sekarang memiliki peluang yang lebih besar untuk bertahan hidup daripada sebelumnya, berkat upaya kolektif The Wildlife Hospital dan Penguin Place, sebuah rumah pemulihan lokal yang telah menyelamatkan hoiho sejak dekade 1990-an.
Sebelum pembukaan rumah sakit pada tahun 2018, hoiho yang sakit atau terluka harus bertahan dari perjalanan yang menimbulkan stres, dari Pulau Selatan ke Pulau Utara, untuk perawatan. Perawatan rumah sakit di Pulau Utara Selandia Baru memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi.
Alhasil, langkah mereka turut mempertahankan populasi penguin hoiho di Pulau Selatan yang langka dan terancam punah. Staf rumah sakit setia pada penguin dan mereka sepenuhnya menyadari tantangan yang dihadapi pasien berbulu mereka.
“Hewan-hewan ini ingin menggigit kami, mereka ingin menampar kami, membuang kotoran di seluruh tubuh kami, tapi kami mencintai mereka,” ungkap dokter Lisa Argilla, pendiri Wildlife Hospital.
Dia menunjukkan sejumlah bekas luka yang muncul dalam 13 tahun merawat penguin bermata kuning. Jalan penguin menuju pemulihan pun tidak berakhir di rumah sakit.
Hewan yang sembuh melanjutkan pemulihannya di Penguin Place, tempat mereka direhabilitasi dan menambah berat badan sebelum dilepaskan ke alam liar. Sekitar 95 persen penguin hoiho yang dibawa ke fasilitas itu bertahan hidup untuk dilepaskan kembali ke alam liar.
Bandingkan persentase yang tinggi itu dengan sejumlah kecil hasil pengembangbiakan alami yang hanya berjumlah 265 ekor di Pulau Selatan, menurut perkiraan tahun 2019. Hasil positif pekerjaan para dokter hewan itu jelas terlihat.
“Jika Penguin Place tidak ada di sini, saya hampir dapat menjamin bahwa populasi mereka akan punah,” kata Jason van Zanten, manajer konservasi di Penguin Place.
Semakin Terancam
Namun, seperti spesies yang terancam punah, nasib Penguin Place semakin terancam. Fasilitas ini sepenuhnya memperoleh penghasilan dari pengunjung. Pandemi Covid-19 memukul Penguin Place dengan sangat parah.
Dalam beberapa bulan lagi, pusat rehabilitasi penguin itu akan kehabisan dana untuk memberi makan dan merawat pasien mereka. Upaya konservasi di Selandia Baru telah lama berkorelasi dengan pariwisata.
Selama beberapa dekade, orang berbondong-bondong datang ke garis pantai Semenanjung Otago, tanjung yang menjulang tinggi dan teluk yang tersembunyi. Para turis itu berharap melihat secara sekilas singa laut, anjing laut, dan penguin.
Dan meskipun pengunjung dari luar negeri serta penghasilan dari pariwisata yang mendukung program pelestarian belum kembali, orang-orang yang menyelamatkan satwa liar ini tetap bertahan.Walau digigit dan tertampar sayap penguin, mereka bertekad merawat hewan ini satu per satu.