in

Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Menimbulkan Perang 18.600 Tahun Silam?

Kerangka di situs pemakaman kuno, Jebel Sahaba, di Lembah Sungai Nil ungkap perubahan iklim menjadi pemicu perang tertua. Foto: British Museum

Jebel Sahaba merupakan salah satu situs pemakaman kuno yang ditemukan di Lembah Sungai Nil. Pemakaman tersebut selama ini dianggap sebagai kuburan massal korban perang dan contoh kekerasaan terorganisir tertua di dunia.

Ketika ditemukan pada 1960-an untuk yang pertama kali, para arkeolog mengira bahwa korban-korban tewas akibat perang brutal tunggal yang epik. Namun kini tim peneliti dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis dan Universitas Toulouse -Jean Jaurès punya pendapat lain.

Studi pemakaman kuno Jebel Sahaba, di Lembah Sungai Nil ini telah dipublikasikan di Scientific Reports. Studi ini mengungkap fakta baru dari Pemakaman Jebel Sahaba yang berumur 13.400 hingga 18.600 tahun yang lalu itu.

Menurut peneliti, manusia yang dikuburkan di tempat itu mengalami serangkaian pertempuran sengit, bukan hanya satu serangan tragis saja. Peneliti pun berasumsi jika rangkaian serangan-serangan itu dipicu oleh perubahan iklim.

Dikutip dari Science Alert, Jumat (28/5/2021) saat peneliti memeriksa ulang tulang dari 61 orang di situs pemakaman kuno tersebut, peneliti menemukan lebih dari seratus tanda cedera baru, banyak di antaranya tidak fatal.

Seperempat kerangka ditemukan dengan luka yang sembuh dan tidak sembuh, yang menunjukkan bahwa kelompok pemburu-pengumpul ini mengalami episode kekerasan brutal lebih dari sekali dalam hidup mereka.

Sebagian besar trauma tampaknya disebabkan oleh senjata proyektil, seperti panah atau tombak, yang berarti serangan kemungkinan besar datang dari luar kelompok dan bukan dari dalam.

Menurut peneliti, pria, wanita, dan anak-anak menjadi korban dan dikubur di situs pemakaman kuno tersebut dengan cara yang sama. Hal tersebut membuat peneliti menganggap kekerasan disebabkan oleh pertempuran kecil, penggerebekan, atau penyergapan.

“Kami menolak hipotesis bahwa Jebel Sahaba (pemakaman kuno) mencerminkan satu peristiwa peperangan. Dengan data baru yang mendukung episode kekerasan antar pribadi yang sporadis dan berulang, hal itu mungkin dipicu oleh perubahan iklim dan lingkungan yang besar,” ungkap peneliti lagi.

Perubahan iklim yang ekstrem mengubah gurun Sahara bagian timur menjadi daerah yang dingin dan sangat gersang, dengan hanya beberapa tempat yang ramah bagi manusia. Lembah Sungai Nil adalah salah satu tempat perlindungan, dengan akses mudah ke air, ikan, dan tumbuhan yang subur.

Tempat tersebut pun menjadi wilayah ideal yang ramai dengan pemburu pengumpul yang ingin memanfaatkan sumber daya di kawasan itu. Terjebak bersama di satu wilayah tersebut membuat berbagai kelompok manusia kemungkinan besar mulai saling menyerang.

“Tekanan teritorial dan lingkungan yang dipicu oleh perubahan iklim kemungkinan besar bertanggung jawab atas konflik yang sering terjadi antara apa yang tampaknya merupakan kelompok pemburu-nelayan-pengumpul semi-menetap Lembah Nil yang berbeda secara budaya,” papar peneliti menyimpulkan.

Penelitian ini mendukung bukti yang berkembang bahwa perubahan iklim adalah pemicu utama konflik manusia, baik sekarang maupun di masa lalu. Kekeringan dan kekerasan umumnya terkait dalam sejarah manusia, karena masyarakat yang berbeda berjuang untuk mendapatkan tanah paling subur.

Mengetahui apa yang terjadi selama zaman es terakhir ini pun dapat memberi kita wawasan yang lebih luas tentang bagaimana perilaku manusia berubah seiring dengan iklim. Dengan dunia memasuki krisis iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya, beberapa ahli berpikir kita sedang menuju konflik yang lebih besar di masa depan.

Situs-situs seperti Jebel Sahaba ini lah yang dapat memberi gambaran sekilas tentang apa yang akan terjadi.