Tim peneliti dari Universitas Newcastle, Inggris, menyebut terdapat gen tertentu dalam tubuh manusia yang menyebabkan ada orang yang positif Covid-19 tidak mengalami gejala yang parah. Mereka mengatakan kondisi itu terkait dengan keberadaan gen HLA-DRB1*04:01.
Studi terkait telah dipublikasikan dalam jurnal HLA. Peneliti menyampaikan gen HLA-DRB1*04:01 ditemukan tiga kali lebih sering pada orang positif Covid-19 namun tanpa gejala. Temuan itu menunjukkan bahwa orang dengan gen tersebut memiliki ketahanan dari gejala Covid-19 parah.
Carlos Echevarria dari Translational and Clinical Research Institute mengatakan temuan itu penting karena dapat menjelaskan mengapa beberapa orang tertular Covid tapi tidak sakit.
“(Penelitian ini) bisa menunjukkan…siapa yang perlu kita prioritaskan untuk vaksinasi di masa depan lewat tes genetik,” ujar Echevarria, dikutip dari Science Daily, Selasa (8/6/2021).
Dengan mengidentifikasi orang yang memiliki gen tersebut, maka bisa diketahui siapa yang berisiko menularkan Covid-19 ketika mereka tidak bergejala.
Penelitian dilakukan dengan membandingkan orang tanpa gejala dengan pasien dari komunitas yang sama yang mengembangkan Covid dengan gejala parah tetapi tidak memiliki penyakit bawaan.
Tim peneliti menyakini itu adalah bukti nyata pertama dari resistensi genetik. Pasalnya, penelitian itu membandingkan orang yang terkena dampak parah dengan kelompok Covid-19 tanpa gejala.
Selain itu, mereka menggunakan pengurutan generasi berikutnya untuk fokus secara detail dan skala pada gen HLA yang dikemas bersama pada kromosom 6.
Melansir Eurek Alert, gen HLA berkembang dari generasi ke generasi sebagai reaksi terhadap patogen penyebab penyakit. Hal ini berdasarkan penelitian yang menggunakan sampel dari 49 pasien dengan Covid-19 berat yang dirawat di rumah sakit karena gagal pernapasan.
Sementara sampel dari kelompok tanpa gejala terdiri dari 69 pekerja rumah sakit yang dites positif melalui tes antibodi darah rutin. Untuk kelompok kontrol dari studi mengaitkan hubungan antara genotipe HLA dan hasil dari operasi penggantian sendi.
Penelitian itu menggunakan mesin pengurutan DNA terbaru untuk mempelajari berbagai versi, atau alel dari gen HLA secara mendalam yang dikombinasikan dengan berbagai keahlian dan pemodelan.
Sampel berasal dari kawasan Inggris Timur Laut dan diambil selama penguncian (lockdown) pertama. Hal itu dipilih untuk mengurangi variasi dalam kelompok studi.
Para peneliti menyampaikan perlu lebih banyak penelitian di Inggris dan populasi lain karena mungkin ada salinan berbeda dari gen HLA yang memberikan resistensi pada populasi lain.
Penulis studi, David Langton menambahkan beberapa temuan yang paling menarik adalah hubungan antara garis bujur dan garis lintang, serta frekuensi gen HLA. Telah lama diketahui bahwa kejadian multiple sclerosis meningkat dengan meningkatnya garis lintang.
Peneliti menyebut gen antigen leukosit manusia yang diidentifikasi, HLA-DRB1*04:01 berkorelasi langsung dengan garis lintang dan garis bujur. Sehingga, letak geografis menentukan munculnya gen ini, sebab warga di Eropa Utara dan Barat cenderung lebih banyak memiliki gen ini.
Hal ini menunjukkan bahwa populasi keturunan Eropa akan lebih mungkin untuk tetap asimtomatik, tetapi masih menularkan penyakit ke populasi lain yang lebih rentan. Dia berkata hal itu sebagian disebabkan oleh berkurangnya paparan sinar UV dan menyebabkan penurunan kadar vitamin D.
“Namun, kami tidak menyadari bahwa salah satu gen risiko utama untuk MS, yaitu DRB1*15:01, berkorelasi langsung dengan garis lintang,” ujar Langton.
“Riset ini menyoroti interaksi kompleks antara lingkungan, genetika, dan penyakit. Kami tahu beberapa gen HLA responsif terhadap vitamin D, dan bahwa kadar vitamin D yang rendah merupakan faktor risiko Covid parah dan kami sedang melakukan penelitian lebih lanjut di bidang ini,” sambung Langton.