in

Tingginya Konsumsi Listrik Penambangan Bitcoin, Setara Pemakaian di Washington

Ilustrasi Bitcoin

Aktivitas “penambangan” mata uang kripto seperti Bitcoin membutuhkan pasokan listrik yang sangat besar. Untuk menghasilkan keping Bitcoin, dibutuhkan seperangkat komputer atau mining rig yang terdiri dari banyak kartu pengolah grafis (GPU).

Laporan New York Times memaparkan, pembuatan Bitcoin bisa mengonsumsi listrik sebanyak 91 terawatt per jam per tahun. Jumlah itu naik lima kali lipat dari lima tahun lalu, dan hampir mencapai setengah dari total konsumsi listrik di seluruh dunia.

Konsumsi listrik untuk menambang Bitcoin setiap tahunnya, disebut setara dengan konsumsi listrik di Washington tiap tahun. Mengapa proses menambang Bitcoin bisa menghabiskan listrik seboros itu?

Apabila dirunut, borosnya konsumsi listrik untuk menambang Bitcoin dimulai dari proses yang dilakukan para penambang. Melakukan transaksi Bitcoin amat mudah. Diawali dengan membuka akun di platform penukar uang Bitcoin seperti Coinbase.

Di platform tersebut, orang bisa membeli Bitcoin dengan membayar melalui mata uang yang sah, seperti dollar atau rupiah. Pundi-pundi Bitcoin yang telah dibeli, disimpan di dalam dompet digital.

Untuk belanja menggunakan Bitcoin, penambang harus mentransfer Bitcoin ke dompet digital orang lain, seperti transaksi pembayaran lumrah. Hanya saja, transaksi ini harus divalidasi. Secara sederhana, proses validasi dilakukan untuk meyakinkan penjual bahwa Bitcoin yang diterima adalah asli.

Keseluruhan proses ini akan dicatat dan diamankan ke dalam sistem Bitcoin public ledger atau dikenal dengan istilah blockchain. Rangkaian blockchain inilah yang membutuhkan konsumsi listrik yang sangat besar.

Para penambang akan berlomba-lomba untuk menjadi pihak yang memvalidasi transaksi dan memasukannya ke dalam blockchain.

Untuk mendapatkan Bitcoin, komputer yang digunakan para penambang harus mampu memecahkan soal matematika yang melibatkan serangkaian perhitungan algoritma rumit. Proses pemecahan itulah yang disebut dengan mining atau penambangan.

Untuk menambang, dibutuhkan komputer yang tangguh dan selalu beroperasi agar penambang bisa mendapat imbalan berupa keping Bitcoin, setiap kali blok baru ditambah ke blockchain untuk mencatat transaksi.

Bayangkan jika serangkaian proses itu dilakukan banyak orang dan perusahaan, listrik yang dibutuhkan pun akan semakin besar.

Belum lagi, ada kemungkinan satu orang bisa memasang banyak perangkat. Sebab, semakin banyak komputer yang dipasang, semakin besar pula peluangnya untuk mendapat kepingan Bitcoin.

Jaringan Bitcoin pun dirancang untuk membuat soal semakin sulit dipecahkan oleh miner. Sehingga, miner akan memasang lebih banyak perangkat komputer dengan spesifikasi tinggi, terutama GPU agar bisa cepat memecahkan perhitungan algoritma dan memenangkan persaingan.

Semakin banyak peserta, maka permainan akan semakin sulit, persaingan akan semakin ketat, dan pasokan listrik yang dibutuhkan akan semakin banyak.

Karena semakin populer, semakin banyak pula orang menambang mata uang kripto. Sehingga kebutuhan mesin yang digunakan untuk menambang pun semakin tinggi.

Para penambang membutuhkan perangkat khusus yang tangguh, ruangan yang besar dan daya pendinginan yang cukup untuk menjaga suhu perangkat karena beroperasi selama 24 jam. Tentu hal itu membutuhkan banyak uang dan pasokan listrik pula.

Tidak hanya konsumsi listrik yang boros, penambangan Bitcoin juga banyak menghasilkan sampah elektronik. Hal itu disebabkan oleh perangkat keras yang cepat rusak karena bekera terus menerus. Usia mesin rata-rata hanya 1,5 tahun.

Dikutip dari Digiconomist, Kamis (9/9/2021), sampah elektronik dari aktivitas penambangan Bitcoin mencapai 8,21 kiloton per tahun per 7 September. Pada bulan Juni 2021, sampah elektronik dari Bitcoin menghasilkan 15,15 kiloton.