Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menyatakan kurikulum baru yang akan ditawarkan pada 2022 merupakan bagian dari pemulihan pembelajaran akibat learning loss di masa pandemi. Hanya saja, sekolah tidak akan dipaksa untuk menggunakan kurikulum itu.
“Kita tidak akan melakukan pemaksaan apapun dalam bentuk kurikulum. Setiap sekolah yang ingin mencoba kurikulum baru atau yang masih ingin memakai kurikulum sekarang ini, pilihan ada pada sekolah tersebut,” ujar Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Rabu, (1/12/2022).
Karena itu, Nadiem meminta tidak ada lagi kekhawatiran dari sekolah terkait keharusan menjalankan kurikulum baru 2022. “Karena ini masa pemulihan, jadi keputusan ada pada masing-masing sekolah untuk mengadaptasi dirinya untuk mencoba kurikulum yang baru atau tidak,” ujarnya.
Nadiem menambahkan, “Kita akan melakukan secara bertahap, secara tenang, dengan kemerdekaan full sekolah dan tanpa paksaan. Dalam waktu dua tahun ini akan dilakukan monitoring dan observasi.”
Menurut Nadiem, kebijakan pemaksaan bagi sekolah untuk menjalankan kurikulum pasti tidak akan menuai hasil yang optimal. Ia juga menyebut pemerintah akan menyediakan platform teknologi untuk membimbing sekolah dalam proses transisi.
“Apapun yang dipaksakan, probabilitas suksesnya sangat rendah. Karena kemauan dari kepala sekolah dan guru untuk berubah adalah kriteria terpenting kesuksesan (jalannya kurikulum baru),” ujarnya.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan kurikulum tahun 2022 tersebut akan lebih berfokus pada materi yang esensial dan tidak terlalu padat materi.
Menurutnya, kurikulum yang berfokus pada materi esensial penting agar guru memiliki waktu untuk pengembangan karakter dan kompetensi. “Jadi bukan sekadar kejar tayang materi yang ada di buku teks,” jelasnya.
Adapun, anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pareira mengkhawatirkan ruang keleluasaan untuk memilih menggunakan kurikulum baru atau tidak, bisa menyebabkan ada sekolah yang tertinggal.
“Harus ada endorse bagi yang belum siap, kalau tidak akan terjadi gap yang makin besar antara sekolah mampu dan tidak mampu. Harus ada treatment juga agar sekolah-sekolah ini sama,” ungkap Andreas.