in

Asal Usul Penamaan Lubang Buaya, Sumur Maut Pahlawan Revolusi Indonesia

Lubang Buaya, sumur maut pahlawan revolusi. Foto: Tempo

Jika menyebut Lubang Buaya tentunya langsung mengingatkan kita dengan peristiwa bersejarah G30S/PKI. Namun, apakah kamu tahu, kenapa tempat tersebut dinamakan demikian?

Sebetulnya, nama Lubang Buaya sendiri sudah ada sejak sebelum kejadian G30S/PKI. Lubang Buaya adalah sebuah nama jalan yang ada di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.

Namun, adakah kaitannya Lubang Buaya dengan hewan reptil buaya? Mengapa bisa disebut demikian?

Terdapat sebuah penelitian yang ditulis oleh Aqilah Afifadiyah Rahman dengan judul Menelisik Sejarah Penamaan Jalan Lubang Buaya dan Kaitannya dengan Peristiwa G30S. Tulisan ini dimuat di jurnal Local History & Heritage.

Dalam penelitian itu dikatakan, asal mula Lubang Buaya adalah nama sebuah jalan sekaligus kelurahan yang ada di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Di daerah itu dulunya ada sungai yang dipenuhi hewan buaya.

Akan tetapi di sana tidak hanya ada buaya yang tampak mata saja. Ada pula buaya tak kasatmata, yaitu siluman buaya putih.

Buaya-buaya gaib itu dapat diatasi oleh ulama yang bernama Pangeran Syarif atau Datok Banjir. Maka sejak itulah daerah tersebut dinamakan sebagai Lubang Buaya.

Selanjutnya, para warga yang ada di Lubang Buaya juga memanggil Pangeran Syarif sebagai Datok Banjir. Mereka yakin sosok tersebut punya kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Narasumber yang ada dalam penelitian ini menyebutkan, “Dulu pasukan Belanda yang mau nguasain daerah sini tidak berhasil berkat doa yang dipanjatkan beliau. Waktu itu, sepenglihatan pasukan Belanda, daerah Lubang Buaya terlihat seperti lautan sampai akhirnya tidak jadi menyerbu kawasan Lubang Buaya.”

Daerah Lubang Buaya akhirnya jadi tempat pembunuhan dan pembuangan 6 perwira tinggi dan 1 perwira menengah TNI AD. Mereka adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen MT Haryono, Mayjen S. Parman, Mayjen R. Suprapto, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Tendean.

Berdasarkan arsip detikX, Desa Lubang Buaya pada tahun 1965 tidak ramai seperti sekarang. Saat itu di Jakarta Timur masih berupa kebun dan hutan, termasuk di dalamnya hutan karet dan kondisinya masih sepi.

Selain itu, di Desa Lubang Buaya pada waktu itu hanya ada 13 rumah yang letaknya saling terpencar jauh. Satu kawasan juga hanya ada tiga rumah dan satu sumur.