in

Pentingnya Melibatkan Anak Muda untuk Cegah Kenaikan Suhu Bumi

Ilustrasi perubahan iklim akibat kenaikan suhu Bumi. Foto: AP

Generasi muda harus dilibatkan dalam upaya mencapai ambisi pencegahan kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celsius sesuai Persetujuan Paris.

Demikian sebagian isi Pakta Iklim Glasgow, hasil perundingan sekitar 190 negara dalam ajang Conference of the Parties (COP) 26 yang berlangsung di Glasgow pada 31 Oktober – 13 November 2021 lalu.

Pakta tersebut dengan jelas menyebut, “Mengakui peran penting dari pemangku kepentingan non-Party, termasuk masyarakat sipil, masyarakat adat, komunitas lokal, pemuda dan anak-anak, pemerintah lokal dan pemangku lainnya dalam mencapai tujuan dari Persetujuan Paris.”

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres menyebut bahwa generasi muda adalah bagian dari laskar aksi iklim.

Dia meminta generasi muda untuk terus berperan mendorong aksi iklim nyata dan menginspirasi satu sama lain sehingga membuahkan gerakan iklim yang solid.

Wahyu Marjaka, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional pada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengungkapkan, Indonesia akan menindaklanjuti kesepakatan itu dengan langkah konkret.

“Kita harus menaruh perhatian pada pengembangan kapasitas dan bagaimana hal itu didesain. Selain itu juga penting soal komunikasi iklim. Penting juga pelibatan sektor bisnis dalam melakukannya,” ujarnya dalam pertemuan Sosialisasi Hasil Perundingan COP 26 di Jakarta (6/12/2021).

Wahyu juga menuturkan, lewat pembahasan Action for Climate Empowerment (ACE) dalam Doha Work Programme, delegasi COP 26 menekankan perlunya setiap negara untuk menyusun strategi jangka panjang sesuai pembangunan kapasitas untuk perubahan iklim.

Untuk meneruskan ACE (terdiri dari promosi perubahan gaya hidup untuk mendorong pembangunan rendah emisi, tahan iklim, dan berkelanjutan) peningkatan partisipasi generasi muda diperlukan sehingga mereka bisa menjadi agen perubahan.

Dalam pertemuan antara Technology Executive Committee dengan Climate Technology Center and Network (CTCN), dibahas juga bahwa proses penciptaan, penggunaan, dan alih teknologi harus inklusif.

Untuk menjadi inklusif, proses terkait teknologi untuk perubahan iklim harus melibatkan generasi muda dari ragam kalangan dan gender, termasuk anggota masyarakat adat.

“Soal generasi muda, gender, dan masyarakat adat harus diperkuat. Terutama untuk adaptasi,” kata Wahyu.

Pelibatan generasi muda adalah salah satu bentuk kolaborasi dalam aksi iklim. Para pihak dalam COP 26 mengakui, bahwa generasi muda punya potensi besar dan sebenarnya telah terlibat dalam aksi iklim, tetapi kurang mendapatkan dukungan.

Wahyu lebih lanjut menuturkan, untuk peningkatan kapasitas dan alih teknologi, peran negara maju dalam memberikan pendanaan diperlukan.

Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa menyatakan minatnya bekerja sama dengan Indonesia untuk perubahan iklim. Wahyu menegaskan, kerja sama perlu konkret dan saling menguntungkan.

Menjelang COP 26, aliansi generasi muda seluruh dunia menerbitkan Youth 4Climate Manifesto. Ribuan generasi muda juga ikut serta dalam unjuk rasa di jalanan Glasgow pada akhir minggu pertama COP 26.

Dalam manifestonya, generasi muda meminta para pemimpin untuk mendorong transisi energi terbarukan lebih cepat, serta menciptakan pekerjaan hijau.

Generasi muda juga menuntut pendekatan berbasis alam serta kompensasi kerusakan dan kehilangan yang dialami masyarakat rentan karena perubahan iklim.

Agar lebih mampu menunjukkan perannya, generasi muda meminta agar pemerintah masing-masing negara dapat mendukung secara finansial inisiatif usaha maupun aksi atau solusi konkret untuk iklim yang digagas generarsi muda.

Generasi muda juga meminta agar semua kalangan mendapat edukasi tentang iklim. Tidak ada yang terlalu muda untuk memahami soal perubahan iklim.

Target Nationally Determined Contribution (NDC), Forestry and Other Land-Use (FOLU) Net-Sink 2030, dan 1,5 derajat Celsius mesti terintegrasi dengan pendidikan.