Wabah tertawa mungkin terdengar tidak berbahaya. Tetapi, faktanya, wabah tertawa tidak sesederhana itu. Dalam konteks ini, tawa bukan hanya suara gembira, ia bisa menjadi tanda kesusahan yang didorong oleh kemarahan atau kesedihan.
Wabah tertawa Tanzania (saat itu Tanganyika) yang terjadi pada tahun 1962 merupakan fenomena yang tak hanya unik, tetapi juga memunculkan banyak pertanyaan.
Dilansir dari Atlas Obscura, wabah tertawa dimulai di sekolah perempuan yang kemudian menyebar ke komunitas lain. Wabah ini menularkan tawa tak terkendali yang memengaruhi sekitar 1.000 orang, berlangsung beberapa bulan, dan menyebabkan penutupan sementara 14 sekolah.
Sebagian besar kasus penyakit psikogenik massal dimulai dengan satu individu. Dalam kasus ini, seorang siswi kemungkinan besar tertawa terbahak-bahak, menimbulkan efek berantai hingga gadis-gadis di sekitarnya juga ikut tertawa.
Gejala penderitanya berupa serangan berulang dari tertawa dan menangis yang berlangsung selama beberapa jam hingga 16 hari. Tak hanya tertawa, serangan ini disertai dengan kegelisahan, lari tanpa tujuan, dan terkadang kekerasan.
Christian Hempelmann dari Texas A&M University telah melakukan penelitian tentang wabah tertawa ini. Hempelmann menjelaskan wabah tertawa sebagai kasus penyakit psikogenik atau sosiogenik massal, yakni penyakit yang dapat menyerang dalam berbagai pengaturan stres tinggi.
Faktor stres di kasus ini mungkin termasuk harapan yang dikenakan di sekolah-sekolah Tanzania yang dikelola Inggris dan ketidakpastian kemerdekaan Tanganyika.
Menurut Hempelmann, penyakit psikogenik memiliki semua jenis gejala saraf dan tawa hanyalah salah satunya. Meskipun kasus Tanzania ini sudah ditutup, kasus serupa dari penyakit psikogenik massal terjadi di antara kelompok orang yang tidak mampu melepaskan diri dari situasi stres.
Dalam situasi seperti ini, orang tersebut tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi stres dan tidak dapat memberikan respons terhadap lain.
“Mereka harus mengekspresikan dirinya secara fisik, yang memberi cara untuk mengatakan ‘lihat aku menderita’,” jelas Hempelmann.
“Ini tidak gila seperti yang orang pikirkan,” timpal Hempelmann.
Bidang penelitian tentang tertawa, yang dikenal sebagai gelotologi, mencoba menjelaskan manfaat tertawa bagi pikiran dan tubuh.
Tertawa telah dikaitkan dengan berkurangnya hormon stres dan peningkatan endorfin, yang pada gilirannya dapat memberikan bantuan fisik dan psikologis. Sejauh gagasan terakhir ini, Hempelmann mengatakan bahwa itu adalah teori humor Freudian klasik.
“Kita membangun beberapa tekanan psikis magis dan tawa memungkinkan kita melepaskannya,” paparnya.
Hempelmann tidak berpikir itu adalah teori yang baik untuk menjelaskan peran tawa dan bagaimana humor bekerja.
“Secara statistik, dalam konteks ini, ini tidak merilis apa pun. Orang-orang ini menderita dan mereka mengekspresikan penderitaan melalui tawa,” tutup Hempelmann.