Nuclear winter adalah fenomena yang digambarkan sebagai dampak iklim jangka pendek dan jangka panjang akibat perang nuklir. Nuclear winter disebut dapat menyebabkan banyak korban tewas, bahkan lebih dari dampak langsung perang nuklir itu sendiri.
Studi pada 2014 menjelaskan perang nuklir yang terjadi bahkan pada lingkup ‘kecil’ dapat membuat kepulan asap tebal yang menghalangi sinar Matahari masuk Bumi.
Asap tebal tersebut akan membuat suhu Bumi turun ke tingkat ekstrem, mencapai titik terdingin sejak zaman es. Tutupan asap tersebut dapat bertahan selama bertahun-tahun di stratosfer. Hal ini akan membuat Bumi tetap dingin selama lebih dari 25 tahun.
Kondisi dingin yang sangat panjang itu disebabkan proses inersia termal dari pendinginan air laut dan pantulan sinar Matahari kembali ke angkasa oleh es laut yang meluas.
Sebelumnya, efek ‘musim dingin’ semacam ini pernah juga terjadi pada Bumi saat letusan gunung berapi Tambora di Indonesia pada 1815.
Kala itu letusan gunung berapi memicu satu tahun tanpa musim panas pada 1816 di Belahan Bumi Utara. Di sepanjang tahun itu, embun beku muncul bahkan di musim panas dan mengganggu pertanian, seperti dikutip The Weather.
Kemudian dikarenakan suhu dingin dan basah tersebut, kegagalan panen terjadi secara luas sehingga mengakibatkan kelaparan dan keruntuhan ekonomi.
Meski demikian, efek ‘musim dingin’ erupsi gunung Tambora hanya berlangsung selama satu tahun. Sedangkan nuclear winter dapat bertahan lima hingga sepuluh tahun. Artinya, akan ada satu dekade tanpa musim panas sekaligus panen yang terganggu dalam periode sama.