in

Bumi Meredup dan Atmosfer Mengembang Akibat Perubahan Iklim

Ilustrasi perubahan iklim. Foto: AP

Peneliti menemukan siklus perubahan iklim menyebabkan meredupnya pantulan cahaya Bumi dan atmosfer yang kian mengembang.

Ahli berhasil mendeteksi fenomena ini usai melakukan pengamatan selama dua dekade dari sebuah fenomena yang disebut “earthshine”, yang merupakan cahaya yang dipantulkan Bumi ke permukaan sisi gelap bulan. Kemudian dikombinasikan dengan pengamatan satelit dari reflektivitas Bumi, atau albedo, dan tingkat kecerahan Matahari.

Menurut studi terbaru mereka, temuan ini bergantung pada dinamika awan di atas Samudra Pasifik. Dijelaskan para ahli, Bumi mencerminkan jumlah cahaya yang berbeda. Misalnya, lautan sangat sedikit dibanding daratan yang mencapai dua kali lebih banyak.

Sementara itu, awan memantulkan setengah dari sinar matahari dan salju serta es memantulkan sebagian besar cahaya yang diterima.

Dalam penelitian baru, para ilmuwan menggabungkan data itu dengan pengamatan dari proyek Clouds NASA dan Earth’s Radiant Energy System (CERES), yang telah beroperasi sejak 1997 dengan instrumen pada sejumlah satelit NASA dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Hasilnya, peneliti mengumpulkan dua set data untuk mengetahui bagaimana cuaca dan kecerahan Bumi dapat berubah. Selama rentang dua dekade penuh, jumlah cahaya yang dipantulkan Bumi turun sekitar 0,5 persen.

Berdasarkan penelitian yang terbit di jurnal Geophysical Research Letters pada 29 Agustus, ditemukan, mayoritas perubahan datang dalam tiga tahun terakhir dari tingkat kecerahan Bumi. Dan selama waktu itu, para peneliti memastikan perubahan jumlah cahaya yang dipantulkan Bumi pasti berasal dari perubahan di Bumi itu sendiri.

Peneliti juga mencatat peningkatan suhu yang mencolok di permukaan laut. Akibat cahaya yang tidak dipantulkan ke luar angkasa terperangkap dalam atmosfer Bumi.

Di satu sisi, ahli menyebut perubahan kecerahan juga berimplikasi pada iklim Bumi di masa depan yang berpotensi meningkatkan laju perubahan iklim yang disebabkan manusia.

Masalah lain yang menjadi dampak dari perubahan iklim adalah atmosfer Bumi yang meningkat. Melalui pengukuran balon cuaca yang dilakukan di Belahan Bumi Utara selama 40 tahun terakhir mengungkapkan, lapisan terendah atmosfer Bumi yang disebut troposfer telah mengembang ke atas dengan kecepatan kira-kira 164 kaki (50 meter) per dekade, sebut temuan yang terbit di jurnal Science Advances.

“Ini adalah tanda yang jelas dari perubahan struktur atmosfer. Hasil ini memberikan konfirmasi independen, di samping semua bukti lain dari perubahan iklim, bahwa gas rumah kaca mengubah atmosfer kita,” kata rekan penulis studi Bill Randel, seorang ilmuwan di Pusat Penelitian Atmosfer Nasional di Boulder, Colorado dikutip Live Science.

Troposfer adalah lapisan atmosfer tempat kita hidup dan bernapas. Sebagai lapisan atmosfer yang paling banyak mengandung panas dan kelembaban, troposfer juga merupakan tempat terjadinya perubahan cuaca dan iklim.

Udara di atmosfer mengembang saat panas dan menyusut saat dingin, sehingga batas atas troposfer yang disebut tropopause secara alami menyusut dan mengembang seiring perubahan musim.

Tetapi dengan menganalisis data atmosfer seperti tekanan, suhu, dan kelembaban dan memasangkannya dengan data GPS, para peneliti menunjukkan dengan meningkatnya jumlah gas rumah kaca yang memerangkap lebih banyak panas di atmosfer dan tropopause meningkat lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Menurut penelitian, tropopause naik sekitar 164 kaki (50 m) per dekade antara 1980 dan 2000. Peningkatan itu naik menjadi 174 kaki (53,3 m) per dekade antara 2001 dan 2020.

Dengan mempertimbangkan peristiwa alam di wilayah studi mereka, para peneliti memperkirakan, aktivitas manusia tetap menyumbang 80 persen dari total peningkatan ketinggian atmosfer.

Peningatan topopause ini disebut dapat memaksa pesawat terbang harus lebih tinggi di atmosfer untuk menghindari turbulensi.

“Studi ini menangkap dua cara penting bahwa manusia mengubah atmosfer. Ketinggian tropopause semakin dipengaruhi oleh emisi gas rumah kaca bahkan ketika masyarakat telah berhasil menstabilkan kondisi di stratosfer dengan membatasi bahan kimia perusak ozon,” kata Randel.