in

Ciri-ciri Keluarga Toxic dan Efeknya

Ilustrasi. Foto: Pixabay

Pernah merasa keluarga Anda mengontrol Anda, tidak pernah meminta maaf, banyak berbohong, hingga melakukan kekerasan fisik dan mental? Bisa jadi Anda memiliki keluarga yang toxic (toksik).

Keluarga yang toksik akan membuat suasana di dalam rumah tidak nyaman bagi anggotanya, bahkan timbul keinginan untuk pergi dari rumah.

Dalam dunia psikologi, keluarga toksik disebut juga dengan disfungsi hubungan keluarga. Kondisi ini akan membuat seseorang merasa tidak dekat secara emosional pada keluarganya, padahal keluarga seharusnya menjadi tempat dimana seseorang merasa paling aman dan nyaman.

Dilansir dari Very Well Mind, ciri-ciri keluarga toksik adalah sebagai berikut:

  • Tidak menghormati. Tiap-tiap anggota keluarga terasa tidak menghormati dan menghargai kebutuhan anggota keluarga yang lain.
  • Keluarga yang toksik biasanya memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anggota keluarga yang lain tanpa memberikan hal yang sama terhadap anggota keluarganya.
  • Tidak mendukung. Hal ini bisa terasa sebagai Anda tidak merasa keluarga sebagai orang yang paling dekat dengan Anda mengetahui diri Anda yang sebenarnya. Selain itu, mereka juga tidak bertindak mendukung Anda ketika Anda membutuhkan dukungan atas apa yang Anda lakukan atau menimpa Anda.
  • Tidak mau mengerti
  • Keluarga yang toksik akan membuat diri Anda merasa dan berperilaku buruk, tidak hanya pada anggota keluarga yang lain, namun juga pada dunia luar.
  • Saling menyalahkan. Biasanya mereka akan menghindari dari tanggung jawab atas apa yang mereka lakukan dan menyalahkan anggota keluarga yang lainnya.

Efek memiliki keluarga yang toksik

Dilansir dari Brown University, memiliki keluarga yang toksik bisa menimbulkan masalah yang besar, baik pada keluarga maupun pada anggota keluarga secara individu.

Pertama, anak yang tumbuh di keluarga toksik akan menjadi pribadi yang sulit percaya pada dunia luar, serta menjadi pribadi yang mudah menilai seseorang secara sepihak. Mereka juga akan merasa tidak berharga dan tidak percaya akan kemampuan yang mereka miliki.

Kedua, mereka akan menganggap kejadian yang ada di rumah mereka sebagai sesuatu yang normal. Contohnya jika mereka sering dipukuli, mereka akan menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa dan bukan bentuk kekerasan. Anggota keluarga berpotensi menjadi pribadi yang abusive pada orang di lingkungannya dan keluarga barunya ketika sudah membangun keluarga sendiri.

Ketiga, tidak memiliki kontrol emosi yang baik. Anggota keluarga yang toksik akan mengekspresikan emosi mereka secara impulsif pada diri sendiri dan orang lain. Pada diri sendiri, mereka akan cenderung terus menyalahkan diri sendiri atas apa yang menimpa mereka. Sedangkan pada orang lain, mereka akan berlaku abusive sebagaimana dijelaskan pada poin kedua.

Kondisi keluarga seperti ini jelas tidak ideal bagi siapapun, terutama bagi orang tua dan anak-anak. Perlu ada upaya lanjutan bagaimana caranya untuk mengatasi keluarga toksik seperti ini agar menjadi lingkungan yang lebih nyaman bagi anggota keluarga.