in

Menilik Sejarah Thomas Cup dan Uber Cup

Ilustrasi bulutangkis

Thomas Cup dan Uber Cup merupakan dua kompetisi bulutangkis bergengsi yang memiliki sejarah Panjang, sebagaimana dikutip dari bwfthomasubercups.bwfbadminton.com.

Thomas Cup adalah turnamen yang mempertemukan tim bulutangkis putra terbaik dunia, sedangkan Uber Cup adalah kompetisi untuk tim bulutangkis putri terbaik dunia.

Thomas Cup diambil dari nama Sir George Thomas, pendiri sekaligus Presiden pertama Federasi Bulutangkis Internasional (sekarang BWF). Sir George menginginkan bulutangkis memiliki kompetisi level dunia yang bergengsi, semacam Davis Cup di tenis.

Ia kemudian mengusulkan kompetisi itu pada 1939, lima tahun setelah BWF didirikan. Namun, pecahnya Perang Dunia II membuat turnamen itu harus ditunda hingga 1948-1949.

Ketika pertama digelar, kontingen negara dibagi berdasarkan empat zona, yaitu Pan Amerika, Asia (Barat dan Timur), Australasia, dan Eropa. Kala itu, Thomas Cup dirancang digelar setiap tiga tahun sekali, dengan format best of nine yang terdiri dari lima partai single dan empat double.

Pada final pertama, Malaya menundukkan Denmark 8-1. Kapten tim Malaya, Lim Chuan Geok, menerima trofi langsung dari Sir George. Pada tahun-tahun berikutnya, perhelatan Thomas Cup menjadi semakin menarik dan mempertontonkan kompetisi yang ketat.

Malaya menyapu tiga edisi pertama Thomas Cup. Pada tahun 1957-1958, tim Indonesia bangkit seperti burung Garuda dan menaklukkan semua penantang selama dua dekade berikutnya.

Dominasi Indonesia baru terhenti pada Thomas Cup edisi 1966-1967 ketika Malaysia dianugerahi seri karena masalah penonton saat final di Jakarta.

Setelah itu, BWF segera melakukan perubahan pada format kompetisi. Hingga 1966-1967, pemenang antar zona harus melawan juara bertahan di final ‘Challenge Round’ untuk memperebutkan trofi. Setelah tahun itu, Challenge Round dihapuskan.

Indonesia mendominasi Thomas Cup

Kedatangan China ke kancah internasional pada awal 1980-an membawa perubahan besar. Meskipun kurang mendapat sorotan internasional, tim China membuktikan bahwa mereka sudah memiliki kemampuan untuk menundukkan juara dunia.

Dalam laga final melawan Indonesia yang ketika itu merupakan juara bertahan, tim China sukses meraih trofi. Mereka membawa pulang Thomas Cup setelah melalui salah satu kontes paling memukau sepanjang masa dengan mencatatkan keunggulan tipis 5-4.

Pemain China, Han Jian menjadi bintang turnamen ketika itu dengan kesuksesannya mengalahkan juara All England tiga kali, Liem Swie King, 15-12 11-15 17-14.

Pada edisi berikutnya (1984), dua perubahan signifikan terjadi. Thomas Cup akan diadakan bersamaan dengan Uber Cup setiap dua tahun, dan format pertandingan juga diubah menjadi best of five bukan best of nine seperti sebelumnya.

Secara keseluruhan, Indonesia memimpin perolehan trofi Thomas Cup dengan koleksi 13 gelar, sedangkan China berada di urutan kedua dengan 10 gelar.

Pada 2014, China, yang merupakan pemenang lima gelar berturut-turut, mengalami kekalahan mengejutkan di semifinal dari Jepang. Jepang kemudian merebut gelar pertama mereka dengan mengalahkan Malaysia di final yang digelar di New Delhi, India.

Kemudian giliran Denmark yang menorehkan sejarah di tahun 2016 dengan menjadi negara non-Asia pertama yang berhasil menjuarai Piala Thomas. Gelar itu sukses mereka raih dengan mengalahkan Indonesia di final yang berlangsung di Kunshan, China.

Pada 2018, China sekali lagi merebut gelar, setelah mengalahkan Jepang 3-1 di final di Bangkok, Thailand.

Uber Cup

Nama Uber Cup diamil dari nama Betty Uber, pemain bulu tangkis putri legendaris asal Inggris. Ia mengusulkan turnamen bulu tangkis dunia untuk tim putri pada 1950. Usulannya ini juga didukung oleh pemain dari Selandia Baru, Nancy Fleming.

Edisi pertama Uber Cup akhirnya terselenggara pada 1956-1957. Format pertandingan Uber Cup pada tahun-tahun awalnya terdiri dari tiga tunggal dan empat ganda.

Lalu, mulai tahun 1984 dan seterusnya, jumlah pertandingan per seri dikurangi menjadi tiga tunggal dan dua ganda, mirip dengan Thomas Cup. Meskipun ada kesamaan antara kedua kompetisi itu, ada perbedaan dalam pola awal tim yang mendominasi.

Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Judy dan Sue Devlin serta Margaret Varner, meraih hat-trick gelar dalam tiga edisi pertama mulai 1956-1957.

Keseimbangan kekuatan kemudian bergeser ke Asia, dengan kemenangan 5-2 untuk Jepang di final melawan Amerika Serikat pada tahun 1966. Jepang kemudian memenangkan empat dari lima edisi berikutnya, kecuali ketika mereka kalah dari Indonesia (1974-1975).

China muncul dengan gemilang pada tahun 1984. Sejak tahun 1984 hingga 2016, mereka memenangkan 14 dari 17 edisi.

Indonesia (1994 dan 1996), Korea (2010), dan Jepang (2018) adalah tiga negara yang sejak 1984 mengganggu rekor kemenangan beruntun China.