in

Ketiadaan Teknologi Hawk Aye Timbulkan Ketidakadilan Turnamen Bulutangkis

Ilustrasi teknologi hawk eye

Duel Jonatan Christie vs Wang Tzu Wei di Malaysia Masters 2022 diwarnai protes terhadap wasit dan hakim garis. BWF tentu perlu bercermin bahwa mereka belum bergerak banyak soal pemerataan teknologi hawk eye dan kesempatan melakukan challenge di pertandingan.

Sistem hawk eye di badminton diperkenalkan pada 2014, alias delapan tahun silam dari titik saat ini. Sistem hawk eye terbukti memberikan keadilan yang lebih besar pada para pemain.

Pemain-pemain yang tidak puas dengan keputusan hakim garis ataupun wasit, bisa meminta challenge sebagai bentuk keberatan. Walaupun sempat ada momen tayangan hawk eye error, sistem hawk eye adalah kemajuan pesat dalam dunia badminton di era modern.

Masalahnya, penggunaan hawk eye dalam seri BWF Tour tidak benar-benar dilakukan di semua lapangan. Mayoritas hanya lapangan utama, biasa disebut lapangan TV Court, yang menggunakan fasilitas hawk eye.

Harga mahal untuk pemasangan sistem hawk eye adalah kendala yang membuat BWF tidak memasang sistem ini di seluruh lapangan yang dimainkan. Dan besar kemungkinan alasan itu yang membuat BWF belum beranjak dari posisi yang sama sejak teknologi tersebut resmi diperkenalkan.

Sebagai gambaran umum, dalam suatu turnamen, sebuah arena pertandingan biasa menggelar tiga atau empat lapangan. Namun seiring babak berlalu, lapangan pertandingan tersebut akan mengerucut.

Biasanya di semifinal hanya tinggal menyisakan dua lapangan dan pada akhirnya hanya satu lapangan di babak final.

Berkaca pada hal itu, menimbang teknologi yang berharga mahal, mungkin dirasa ada ‘kemubaziran’ bila memasang hawk eye di empat lapangan namun hanya digunakan hingga babak perempat final pada Jumat. Karena saat turnamen masuk semifinal, lapangan tinggal tersisa dua dan mengerucut jadi satu di hari terakhir alias final.

Namun berpegang pada posisi itu, harapan keadilan yang datang seiring kehadiran hawk eye justru belum bisa memberikan keadilan yang tuntas bagi seluruh pemain. Pemain-pemain yang berlaga di lapangan ‘non hawk eye’ akhirnya tidak bisa berharap pada teknologi tersebut.

Pemain-pemain yang berlaga di lapangan ‘non hawk eye’ tidak bisa melakukan banding atas keputusan perangkat pertandingan yang dirasa merugikan. Alhasil, peluang ‘challenge’ terbatas hanya bagi pemain-pemain yang berlaga di ‘lapangan hawk eye’.

Untuk memenuhi keadilan dalam hal pengajuan ‘challenge’ bagi pemain-pemain yang berlaga di ‘lapangan non hawk eye’, mungkin BWF bisa menerapkan penggunaan instant replay seperti yang pernah mereka uji coba sebelum teknologi hawk eye.

Rasanya dengan penggunaan kamera biasa, biaya produksi yang dikeluarkan bakal lebih murah dibanding teknologi hawk eye.

Bila BWF masih kesulitan dalam biaya produksi dengan menempatkan kamera serupa untuk siaran TV di tiap sudut, BWF bisa menggunakan satu kamera di tengah dengan sudut pandang dari atas seperti halnya teknologi hawk eye.

Meskipun nantinya tidak seakurat hawk eye yang menggambarkan alur laju shuttlecock, wasit bisa menilai arah jatuhnya shuttlecock dengan tayangan slow motion alias diperlambat dari kecepatan aslinya. Lalu kemudian wasit memutuskan pengamatannya berdasarkan tayangan tersebut.

Memang bakal tetap ada kontroversi dan mungkin protes terhadap keputusan wasit bila jatuhnya shuttlecock benar-benar tipis, beda halnya dengan review dari hawk eye yang bersifat mutlak.

Namun setidaknya pemain-pemain yang berlaga di ‘lapangan non hawk eye’ punya kesempatan yang sama untuk mengajukan banding alias challenge terhadap keputusan yang diragukan.

Dengan begitu asas keadilan terhadap kesempatan ‘challenge’ benar-benar merata bagi tiap pemain yang berlaga, walaupun BWF belum bisa memenuhi kondisi ideal menghadirkan situasi yang sama, berupa kehadiran teknologi hawkeye, di tiap lapangan yang ada.