Ternyata serangga mempunyai kapasitas untuk bisa merasakan sakit. Hal tersebut telah dibuktikan peneliti.
Dalam makalah yang diterbitkan di Proceedings of the Royal Society B, peneliti menjelaskan masalah yang mereka hadapi dalam mencari tahu apakah serangga memang merasakan sakit serta logika yang mereka gunakan dalam menunjukkan teori mereka.
Selama ini, penelitian-penelitian sebelumnya dan bukti anekdot menunjukkan bahwa serangga tak merasakan sakit. Anggapan itulah yang kemudian membuat manusia merasa mudah untuk menyakiti atau membunuh serangga-serangga tersebut.
Namun dalam studi baru ini, peneliti dari Queen Mary University of London dan University of Tehran memberikan pandangan lain.
Seperti dikutip dari Phys.org, Kamis (7/7/2022); para peneliti memulai studinya dengan mencatat penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa hewan maupun serangga memiliki sistem fisiologis yang bereaksi terhadap apa yang dapat digambarkan sebagai pengalaman menyakitkan.
Pengalaman-pengalaman itu telah dibedakan menjadi nosiseptif. Refleks nosiseptif sering disertai dengan rasa sakit jika terjadi pada manusia dan hewan. Namun pada organisme yang lebih sederhana, seperti serangga sulit untuk menyimpulkan apakah rekfleks nosiseptif terasa seperti nyeri.
Ambil contoh saja saat Anda memotong salah satu kaki serangga, mereka akan meresponsnya. Namun, belum jelas apakah hal itu menyakitkan bagi serangga.
Untuk membantu menjawab pertanyaan itu, para peneliti menggunakan apa yang dikenal sebagai urutan menurun nosisepsi, di mana aktivitas sistem saraf yang lebih tinggi dapat dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Menurut Matilda Gibbons, penulis utama studi ini, kemampuan untuk menolak refleks nosiseptif dan mengubah perilaku adalah tanda bahwa organisme memiliki kemampuan untuk mengalami rasa sakit secara subjektif.
Manusia telah terbukti mampu menghentikan respons rasa sakit jika itu terjadi selama keaadaan darurat. Sebagai contoh, beberapa orang tak menyadari bahwa mereka telah terluka dalam kecelakan mobil sampai mereka dirawat di rumah sakit.
Peritiwa traumatis semacam ini diketahui dapat mendorong otak untuk mulai memproduksi opiat, reseptor yang memfasilitasi untuk merespons sensor seperti pengelihatan, rasa, dan penciuman.
Namun serangga tak menghasilkan opiat melainkan menghasilkan neuropeptida yang memiliki fungsi serupa.
Menariknya peneliti menemukan bahwa neuropetida ini diproduksi pada serangga selama peristiwa traumatis, dan menunjukkan bahwa mereka mampu menurunkan urutan nosisepsi yang merupakan bukti bahwa mereka merasakan sakit.
Namun, tentu saja masih perlu dilakukan studi lainnya untuk menentukan lebih lanjut, apakah serangga memang merasakan sakit.
Jika memang demikian, tentu akan menjadi pertanyaan tambahan soal bagaimana mengatasi masalah etika seputar perlakuan manusia pada serangga-serangga ini, semisal saja dalam konteks pertanian maupun penelitian.