Ardhito Pramono merilis album penuh perdananya bertajuk Wijayakusuma belum lama ini. Lewat delapan lagu dalam album tersebut, Ardhito melahirkan karya sendiri dengan sentuhan Indonesia sebagai dasar utamanya.
“Gue melihat banyak sekali dampak kurang baik dari karya gue selama ini yang menggunakan bahasa Inggris. Misalnya, teman-teman musisi baru yang akhirnya ikut memilih menggunakan bahasa Inggris dalam karyanya. Gue tidak ingin bahasa kita lenyap digantikan oleh bahasa asing dalam sebuah pengkaryaan,” kata dia.
Demi mencapai tujuan tersebut, Ardhito mendapat banyak arahan dari Narpati ‘Oomleo’ Awangga yang juga menulis beberapa lirik di Wijayakusuma. Ardhito akhirnya menulis lirik-liriknya dengan padanan aksara Indonesia yang beragam.
Single pertama berjudul sama dengan nama album, memuat pilihan kata yang jarang digunakan, dipadu bahasa Jawa yang dinyanyikan oleh pelaku macapat bernama Peni Candra Rini. Ada pula padanan yang tersusun cukup gamblang seperti “Berdikari” maupun “Rasa-rasanya”, hingga yang dibalut ambiguitas pada “Daun Surgawi” juga “Asmara”.
“Album ini adalah keresahan, keindahan, penyesalan, dan hal-hal yang terjadi di beberapa tahun belakangan,” katanya. “Lewat album ini, sekiranya gue ingin melampiaskan dan memotret beberapa kejadian yang terjadi.”
Elemen nusantara dalam Wijayakusuma juga Ardhito sematkan ke seluruh aransemen musik hingga caranya bernyanyi. Jika di karya-karya sebelumnya terpancar energi crooner ala Sinatra, Crosby, hingga Bennett, album yang berada di bawah label rekaman Aksara Records ini justru pekat akan kualitas pop Indonesia periode empat hingga lima dekade silam.
Wijayakusuma adalah cerminan eksperimen Keenan Nasution, Margie Segers, Chrisye, Rafika Duri, Dian Pramana Poetra, Rien Djamain, Utha Likumahuwa, hingga Candra Darusman. Ia berada di spektrum pop dengan kekayaan ala chamber, autentik milik Indonesiana, juga sarat alun selayaknya jazz. Upaya eksplorasi ini Ardhito lakukan bersama produser Gusti Irwan Wibowo, Erikson Jayanto, dan Hezky Y.H. Nainggolan.
Wijayakusuma jadi kumpulan karya keenam setelah lima album pendek beruntun Ardhito Pramono (2017), Playlist, Vol. 2 (2017), a letter to my 17 year old (2019), Craziest thing happened in my backyard (2020), dan Semar & Pasukan Monyet (2021).