Hasil penelitian baru-baru ini mengungkap faktor penyebab runtuhnya peradaban suku Maya kuno. Dalam studi itu peneliti telah melihat sejarah selama 800 tahun ke belakang untuk menyimpulkan bahwa Mayapan telah hancur karena kekeringan.
Mayapan adalah ibukota budaya dan politik bagi orang-orang Maya di Semenanjung Yucatan pada abad ke-13 dan ke-14 Masehi.
Menurut studi tersebut, kekeringan yang berkepanjangan selama 1400-1450 Masehi menyebabkan konflik sipil yang pada gilirannya membawa kehancuran politik.
Kemungkinan besar hal itu yang menyebabkan Mayapan ditinggalkan. Orang-orang disebut mundur ke pemukiman yang lebih kecil dan lebih aman.
“Beberapa sumber data menunjukkan bahwa konflik sipil meningkat secara signifikan dan pemodelan linier umum menghubungkan perselisihan di kota dengan kondisi kekeringan antara 1400 dan 1450 Masehi,” tulis peneliti dalam studi mereka, dikutip dari Science Alert, Jumat (22/7/2022).
Studi peradaban suku Maya Kuno, selain memberi wawasan yang berguna tentang sejarah orang kuno, studi baru tersebut juga merupakan peringatan bahwa perubahan iklim dapat dengan cepat memberi tekanan pada peradaban yang paling mapan dan makmur sekalipun.
Kekeringan berkepanjangan itu kemudian menurut peneliti meningkatkan ketegangan faksi atau kelompok.
Dalam kuburan massal terakhir yang digali sebelum kota itu ditinggalkan, para peneliti melaporkan bahwa banyak dari sisa-sisa kerangka yang ditemukan adalah miliki anggota keluarga Cocoms (kepala negara).
Temuan kuburan massal Maya Kuno tersebut menunjukkan ada konflik yang disebabkan oleh faksi yang bersaing dan kerusuhan sosial.
“Temuan (studi keruntuhan Maya Kuno) kami mendukung keruntuhan institusional Mayapan antara 1441 dan 1461 M, sebuah konsekuensi dari konflik sipil yang didorong oleh persaingan dan ambisi politik,” tulis para peneliti.
Tetapi di sisi lain juga mengungkapkan adaptasi ketahanan skala wilayah yang memastikan bahwa struktur politik dan ekonomi Maya bertahanan sampai terjadinya kontak dengan Eropa pada awal abad ke-16 Masehi.
Dalam studi ini peneliti menggunakan banyak catatan sejarah yang meliputi perubahan populasi, pola makan kontemporer, dan juga kondisi iklim.
Catatan itu kemudian ditambah dengan analisis baru dari sisa-sisa manusia yang mengalami tanda-tanda cedera traumatis yang menunjuk pada konflik.
Selanjutnya analisis peneliti menemukan korelasi antara peningkatan curah hujan dan peningkatan populasi dengan penurunan curah hujan dan peningkatan konflik di wilayah Maya.
Kurangnya air pun kemudian memengaruhi praktik pertanian dan jalur perdagangan, sehingga membebani masyarakat Mayapan.
Seiring makanan yang makin langka dan situasi yang bertambah berbahaya membuat orang-orang mati atau mengungsi.
Lebih lanjut, respon manusia terhadap tekanan lingkungan seperti kekeringan jelas kompleks, bervariasi menurut wilayah dan zaman. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan mengapa populasi bertindak seperti itu.
Perpindahan orang ke bagian lain dari Semenanjung Yucatan kemudian membantu budaya Maya terus berkembang setelah jatuhnya Mayapan. Dan setelah itu hanya ada sedikit bukti adanya konflik.
“Ini bukti sistem adaptasi manusia dan lingkungan yang tangguh. Tetapi adaptasi itu sekali lagi juga harus berhadapan dengan krisis iklim. Dan wilayah Maya menawarkan kedalaman catatan arkeologi, sejarah, dan iklim yang penting untuk mempelajari korelasi antara perubahan sosial dan kondisi iklim yang fluktuatif,” tambah para peneliti.
Studi yang mengungkap penyebab runtuhnya suku Maya Kuno ini telah dipublikasikan di Nature Communications.