Jika dilihat sekilas, air hujan tak ubahnya seperti air sumur atau air bersih pada umumnya. Namun jika ada keinginan untuk meminum air hujan, nampaknya hal itu harus dipertimbangkan kembali.
Sebagaimana dikutip dari Live Science, air hujan sebenarnya mengandung banyak bahan mikroskopis yang disaring sebelum dipompa ke saluran air untuk digunakan sehari-hari.
Berdasarkan penelitian Centers for Disease Control and Prevention, ada sejumlah kontaminan yang dapat berakhir di air hujan, seperti bakteri, virus, parasit, debu, partikel asap, dan bahan kimia lainnya.
Apabila air hujan dikumpulkan dari atap sebuah bangunan maka kandungan berbahaya menempel di air tersebut. Terlebih, di atap bangunan kerap menempel jejak yang ditinggalkan oleh hewan, seperti kotoran burung.
Apabila atap atau pipa pembuangan sudah tua, bahan seperti asbes, timah, dan tembaga juga bisa mencemari air hujan. Jika air hujan ditampung dalam wadah terbuka, kemungkinan besar dipenuhi dengan kontaminasi serangga dan bahan organik yang membusuk, seperti daun mati.
Dengan demikian CDC Amerika Serikat menyarankan agar tidak mengumpulkan dan meminum air hujan tetapi merekomendasikan untuk menggunakannya untuk tujuan lain, seperti menyiram tanaman atau kebutuhan lain di luar kebutuhan manusia.
Tingkat kontaminan pada air hujan bisa sangat bervariasi, tergantung di mana lokasi tinggal. Risiko penyakit sangat bergantung pada seberapa banyak air hujan yang diminum.
Jika Anda memiliki sistem pengumpulan yang bersih dan mensterilkan air hujan dengan benar, baik dengan bahan kimia atau dengan perebusan dan penyulingan, maka sebagian besar kotoran dapat dihilangkan.
Para peneliti menemukan bahwa air hujan di seluruh dunia memiliki konsentrasi PFAS beracun (zat alkil per dan polifluorinasi) yang melebihi pedoman kesehatan. Temuan ini menunjukkan bahwa air hujan jelas tidak aman untuk diminum, terutama jika tidak diolah dengan baik.
PFAS adalah istilah kolektif untuk lebih dari 1.400 bahan kimia dan zat buatan manusia yang secara historis telah digunakan untuk berbagai produk, termasuk tekstil, busa pemadam kebakaran, peralatan masak antilengket, kemasan makanan, rumput sintetis dan senar gitar.
Penulis utama studi Ian Cousins, seorang ahli kimia lingkungan di Universitas Stockholm di Swedia, mengatakan pemahaman akan bahaya kandungan PFAS masih terbilang minim di sebagian masyarakat.
“Pemahaman saat ini tentang dampak biologis terutama didasarkan pada studi tentang empat asam perfluoroalkil (PFAA), yang merupakan subkelompok PFAS,” kata Cousins.
PFAA ini termasuk asam perfluorooctanesulfonic (PFOS), asam perfluorooctanoic (PFOA), asam perfluorohexanesulfonic (PFHxS) dan asam perfluorononanoic (PFNA), yang menjadi fokus utama penelitian Cousins.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahan kimia ini sangat beracun dan dapat menyebabkan berbagai masalah termasuk kanker, infertilitas, komplikasi kehamilan, masalah perkembangan, kondisi sistem kekebalan tubuh , dan berbagai penyakit usus, hati dan tiroid.
Selain itu, kaya Cousins bahan kimia PFAS juga berpotensi menurunkan efektivitas vaksin pada anak-anak. PFAS juga cenderung menyebabkan kerusakan tambahan pada lingkungan, tetapi ide ini belum dipelajari secara rinci.
Dalam studi tersebut, para peneliti mengumpulkan data dari sampel air hujan yang dikumpulkan di seluruh dunia. Kemudian diketahui PFAS masih berlimpah dalam air hujan di mana-mana di Bumi.
Tim berharap konsentrasi PFAS sudah mulai menurun sekarang, tetapi ini jelas tidak terjadi. Sebaliknya, para peneliti berpikir PFAS menjadi sesuatu hal yang tidak aman bagi manusia.
Temuan yang paling mencolok adalah bahwa tingkat PFOA dalam air hujan setidaknya 10 kali di atas tingkat aman EPA di setiap lokasi sampel di planet ini, termasuk Dataran Tinggi Tibet dan Antartika.
Para peneliti masih tidak yakin persis bagaimana PFAS diangkut ke bagian paling terpencil di dunia. Tim berhipotesis bahwa PFAS di permukaan laut sedang disuntikkan kembali ke atmosfer dari laut dan kemudian diangkut ke daerah lain, di mana mereka jatuh sebagai hujan.
Meski demikian Cousins menilai masih terlalu dini untuk memprediksi dampak kesehatan masyarakat secara keseluruhan yang akan ditimbulkan oleh air hujan yang kaya PFAS di seluruh dunia.
“Tetapi hal itu mungkin sudah berlangsung. Bumi telah terpapar pada tingkat yang lebih tinggi selama 20 hingga 30 tahun terakhir,” kata Cousins.
“Kami baru saja lebih memahami konsekuensi potensial dari paparan itu,” sambungnya.