in

Burungnesia, Aplikasi Android untuk Mengumpulkan Data Distribusi Burung di Indonesia

Ilustrasi aplikasi Burungnesia. Foto: Googleplay

Bermula dari kepiluan melihat kondisi Indonesia yang menjadi pusat krisis burung berkicau, Swiss Winasis dan rekan-rekan mengabdikan hidup demi burung.

Swiss menganggap bahwa masih banyak burung, termasuk yang dilindungi, yang ditangkap dan diperjualbelikan secara bebas.

“Dari situ populasi burung sudah semakin menurun dan semakin susah untuk melihatnya di alam. Atas dasar itu lah maka kemudian kita berpikir kalo ini enggak segera didata, enggak segera didokumentasikan keburu udah enggak ada semua burungnya,” tutur Swiss yang dikutip dari CNN, Jumat (2/9/2022)

Ketertarikan Swiss pada burung membawanya untuk mendirikan Burungnesia. Burungnesia merupakan sebuah aplikasi Android yang digunakan untuk mengumpulkan data distribusi burung di Indonesia.

Salah satu deskripsi dari aplikasi Burungnesia di Google Play Store mengatakan bahwa Burungnesia adalah alat bantu bagi pengamat burung dalam mengumpulkan, menyimpan, dan mengelola data lapangan.

Lebih jauh aplikasi ini adalah media dalam menggalang kekuatan publik/amatir untuk memperkuat gerakan konservasi dan ilmu pengetahuan burung berbasis warga/voluntary.

Perjalanan Burungnesia sejak didirikan pada 2016 bukan tanpa tantangan. Swiss menyebut salah satu tantangan utama platform ini adalah user atau kontributornya yang bersifat relawan.

Dikarenakan semuanya relawan atau volunteer, maka perkembangan arus data Burungnesia sangat bergantung pada mereka.

“Karena semuanya volunteer semua tergantung ke kontributor. Kalo mereka rajin data kita banyak,” tutur Swiss.

Di sisi lain, model kontributor semacam ini juga disebut menguntungkan karena tidak ada keterbatasan dalam jumlah kontributor. Saat ini Burungnesia sendiri memiliki lebih dari 2200 kontributor di seluruh Indonesia. Data yang telah terkumpul juga sangat besar.

“Ada sekitar 200 ribu data yang terkumpul. Dan yang tercatat itu sudah 1300 spesies dari 1800-an spesies yang ada di Indonesia,” papar Swiss.

Sebagian besar burung yang belum masuk ke dalam database Burungnesia berada di wilayah Indonesia Timur. Menurut Swiss, ini disebabkan karena volunteer di wilayah tersebut terbilang sedikit dan operasional untuk pengamatan juga membutuhkan biaya yang cukup tinggi.

Untuk menjadi kontributor Burungnesia, skill utama yang diperlukan adalah mampu mengidentifikasi burung. Sebelum menjadi bagian dari penyuplai data Burungnesia, seorang pengguna setidaknya harus bisa mengidentifikasi 50 jenis burung.

Syarat tersebut bersifat wajib karena data yang disediakan Burungnesia merupakan data yang berhubungan dengan data ilmiah, sehingga sebisa mungkin tidak boleh salah.

Setelah menjadi kontributor, pengguna nantinya hanya tinggal menginput nama burung. Saat nama burung dimasukkan, maka lokasi dan waktu peng-input-an juga akan tercatat. Data yang di-input oleh kontributor nantinya akan dilengkapi lagi oleh tim Burungnesia.

Di aplikasi Burungnesia, pengguna dapat melihat data burung mulai dari foto, nama latin, deskripsi burung, peta penyebaran, ukuran, hingga karakter sosialnya.

Burungnesia sendiri hingga saat ini tidak terafiliasi dengan lembaga atau partner apa pun. Menurut Swiss, partner atau rekanan biasanya memiliki kepentingan tertentu, salah satunya profit.

Hal semacam itu dianggap dapat mencederai pola kerja Burungnesia yang mengandalkan kepercayaan di antara sukarelawan dan kontributornya.

“Kita kan membentuk trust kepada user bahwa kita enggak ada kepentingan apa-apa. Enggak ada siapa-siapa di barang kita,” ucap Swiss.

Swiss menjelaskan pentingnya kepercayaan atau trust di Burungnesia karena pengguna dan timnya adalah sukarelawan, dan sukarelawan hanya akan berkontribusi jika dia percaya dan suka dengan produknya.

“Itu aset yang paling bernilai, sehingga apapun harganya harus kita bayar untuk menjaga trust temen-temen kontributor,” terang Swiss.

Lebih lanjut, platform yang berbasis di Batu, Malang, Jawa Timur ini tak hanya ingin memberikan sesuatu untuk pecinta burung, tetapi juga untuk publik. Lewat platformnya mereka ingin memberikan edukasi soal burung kepada publik.

Salah satu langkah yang mereka lakukan adalah lebih aktif di media sosial untuk meningkatkan kepedulian orang-orang kepada lingkungan dan satwa.

Perjalanan Burungnesia juga melahirkan satu hal menarik, yakni bantuan dari para pemburu burung. Mereka berhenti berbeuru karena matanya dibukakan tentang potensi burung di alam secara ekonomi.

“Itu banyak pemburu yang “libur” dari berburu, kemudian area berburunya dijadikan area wisata, fotografi,” ucap Swiss.

Swiss menjelaskan bagaimana ‘menjual’ burung tak hanya terbatas sebagai peliharaan atau daging, melainkan sebagai objek wisata.

“Analoginya seperti ini, dia suka berburu [burung] Paok atau Pancawarna, mereka ambil burung dari alam lalu dijual ke pasar. Satu ekor dijual sekitar 10-50 ribu. Besok dia harus pindah ke lokasi baru untuk cari burung lain karena di lokasi tadi sudah habis. Harus cari spot baru. Gitu terus sampai akhirnya dia kelilingi hutan udah enggak ada lagi burungnya, sudah diambil semua,” jelas Swiss.

Hal tersebut akan sangat berbeda jika pemburu menjadi guide. Mereka menemukan burung di satu lokasi, melakukan pengondisian lingkungan agar fotografer atau wisatawan dapat berkunjung dengan nyaman, lalu mereka bisa menerima tamu berulang kali, sementara burungnya masih ada di lokasi tersebut.

Meski demikian, Swiss menyebut hijrahnya para pemburu ini bukan semata karena Burungnesia, melainkan beberapa pihak seperti agen tour yang membawa tamu hingga NGO yang memberi pekerjaan lain untuk pemburu jika sedang sepi pengunjung.

Sayangnya, meski banyak pemburu burung yang sudah bertaubat, permintaan pasar terhadap burung masih cukup tinggi, sehingga belum memberikan dampak terlalu besar bagi kelestarian burung di alam.

Kebutuhan pasar akan burung disebut Swiss harusnya dipenuhi oleh penangkaran.Lebih lanjut, Burungnesia kini telah berumur 6 tahun.

Tanpa bantuan modal dari pihak mana pun, termasuk berupaya mengemis dana riset, mereka memilih melakukan pendanaan mandiri alias self funding untuk menghidupi platform-nya.

Beberapa self funding yang mereka lakukan adalah berjualan kaos, poster, mengembangkan wisata pengamatan burung, hingga membuat cafe yang kini menjadi markas mereka di Batu, Malang.