in

Menparekraf: Undang-undang Pariwisata Perlu Diubah

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno menyatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan perlu diubah. Pasalnya, zaman sekarang telah memasuki era disrupsi dan industri 4.0.

“Revisi UU Nomor 10 Tahun 2009 menjadi peluang bagi pariwisata era baru menjadi ujung tombak pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 sebagai penghasil salah satu devisa terbesar di negara kita,” ujar Sandi dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah mengidentifikasi sejumlah permasalahan mendasar dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 yang perlu diperbaiki, antara lain belum ada pengaturan yang mengakomodasi konsep wisata bahari (archipelago tourism) dan pengaturan pembangunan budaya pariwisata masyarakat di bidang pariwisata.

Masalah lain di bidang lingkungan, belum ada mekanisme untuk menegakkan ketaatan terhadap asas kelestarian dan keberlanjutan. Selanjutnya, dari bidang sosial budaya belum ada pemisahan secara dikotomis antara konsep penyelenggaraan kepariwisataan dan konsep pembangunan kepariwisataan, lalu pengaturan di bidang kepariwisataan hanya berorientasi terhadap pemenuhan kebutuhan (tourist-based orientation), dalam arti belum berorientasi terhadap masyarakat sekitar/wisatawan, serta belum ada pengaturan yang mengutamakan konsep culture based tourism (pariwisata berbasis budaya).

Permasalahan di bidang Sumber Daya Manusia (SDM), lanjutnya, masih minim pengaturan dan fokus terhadap SDM pariwisata Indonesia dan disharmoni pengaturan SDM dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 dengan Undang-undang terkait.

Adapun dari segi ekonomi perlu reformulasi tujuan berwisata untuk meningkatkan kualitas hidup dan belum dicantumkan pengaturan mengenai prioritas penggunaan produk lokal.

“Di segi hukum, ketidakjelasan tolak ukur menilai kesesuaian penyelenggaraan pariwisata dan pembangunan kepariwisataan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan asas Undang-undang 10 Tahun 2009,” paparnya.

Masalah di bidang teknologi informasi, belum ada pengaturan mengenai pengelolaan data dan informasi kepariwisataan secara nasional.

Pada bidang arsitektur, belum ada pengaturan yang mengutamakan keaslian dan kekhasan bangunan dalam pembangunan kepariwisataan berbasis kearifan lokal, dan minim pengaturan terkait kewajiban pemerintah dan pelaku usaha dalam penjaminan akses wisatawan berkebutuhan khusus.

Untuk bidang perencanaan wilayah, ia menyatakan tidak ada pengaturan yang tegas mengenai hierarki perencanaan ruang dan perencanaan kepariwisataan

“Dan bagian kelembagaan, belum ada pengaturan yang jelas mengenai dikotomi kelembagaan pariwisata yang diatur dan belum ada pengaturan yang jelas mengenai desain kelembagaan badan promosi pariwisata pada level nasional dan daerah, sehingga investasi sektor pariwisata belum optimal,” katanya.

Dengan ditemukannya berbagai persoalan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009, maka Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengusulkan materi muatan dalam Rancangan Undang-undang tentang kepariwisataan yang terdiri dari 12 poin.

Secara berurutan yaitu restrukturisasi sistematika pengaturan, reformulasi definisi wisata, pariwisata dan kepariwisataan, kemudian reformulasi asas, prinsip, dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan, lalu mentransformasikan penyelenggaraan kepariwisataan berbasis teknologi informasi.

Berikutnya adalah memperjelas hierarki dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan, memperjelas dikotomi destinasi pariwisata, Kawasan Strategis Pariwisata, dan Kawasan Pengembangan Pariwisata, selanjutnya pengarusutamaan penggunaan produk lokal dan pemberdayaan sektor pendukung industri pariwisata.

Pada empat poin terakhir yang dipaparkan Menparekraf mencakup rekonstruksi pengaturan asosiasi industri pariwisata, redesain kelembagaan badan promosi pariwisata, menegaskan keterlibatan pentahelix dalam penyelenggaraan kepariwisataan, dan introduksi budaya wisata.