in

Hinaan Lebih Memacu Otak Dibanding Pujian, Begini Penjelasannya

Ilustrasi. Foto: Getty Images

Penelitian mengungkap bahwa hinaan verbal ternyata lebih memicu aktivitas otak daripada pujian. Tak hanya itu, hinaan juga lebih lama membekas dalam otak.

Hal tersebut diketahui setelah percobaan sejumlah ilmuwan bahasa dari Belanda. Mereka melakukan eksperimen terhadap 80 partisipan wanita dengan menempatkan elektroda di kulit kepala.

Mereka mempublikasikan hasil penelitiannya dengan judul Do People Get Used to Insulting Language? Hasil penelitian itu dipublikasikan di jurnal Frontiers.

Para ahli menggunakan metode electroencephalography (EEG) dan Skin Conductance (SC). Mereka kemudian karakter fiktif untuk melontarkan ejekan seperti ‘Linda seorang idiot’, ‘Paula itu buruk’ hingga sejumlah pujian seperti ‘Linda seorang malaikat’, ‘Paula itu impresif’, hingga yang lebih netral seperti ‘Linda seorang pelajar’.

“Studi kami mengambil tempat dalam setelan laboratorium di mana pernyataannya terus-menerus diulang dan datang dari karakter fiktif yang identitas dan opininya tidak punya sangkut-paut dengan kehidupan para partisipan,” tulis para ahli tersebut, dikutip dariScience Alert.

Dari percobaan itu, para ahli menemukan ejekan dan hinaan bahkan dari karakter fiktif pun memicu kilatan pendek dari aktivitas di bagian otak urusan pendengaran. Kilatan itu akan muncul tanpa mempertimbangkan ke siapa hinaan itu ditujukan.

Respon kilat itu ternyata tidak hilang dalam waktu yang cepat. Hinaan atau ejekan terus menyita perhatian otak dan kemudian menghasilkan respon besar dengan ukuran yang sama, terlepas dari seberapa sering makian terdengar.

Penghinaan menimbulkan respons yang lebih besar dalam aktivitas otak daripada pujian, dan hal itu terus terjadi sepanjang eksperimen. “Ini menunjukkan bahwa apa pun ejekan yang bisa menyita perhatian, itu melakukannya dengan cara yang meyakinkan,” tulis para ahli tersebut.

Lebih lanjut, para ahli menemukan bahwa ejekan yang menyita perhatian otak dalam 250 mili detik menjadi indikasi sensitivitas manusia terhadap perilaku sosial yang tidak diinginkan. Selain itu, manusia juga ternyata bereaksi otomatis terhadap ejekan.

Di saat yang sama, otak manusia bereaksi terhadap pujian dengan cara yang lebih stabil. Selain itu gelombang otak juga lebih kecil jika bereaksi terhadap pujian.

Gelombang itu pun tidak tahan lama seperti yang diharapkan para ahli. Percobaan para ahli ini pun menjadi pengingat bahwa otak manusia cenderung terpaku kepada peristiwa negatif daripada positif.

Di sisi lain, para ahli ini mengakui ujicoba lebih lanjut tetap perlu dilakukan. Pasalnya, mereka hanya bereksperimen dengan partisipan wanita.