Ketika membicarakan mengenai berita palsu atau hoax di media sosial, seringkali kita berasumsi bahwa kurangnya kemampuan berpikir kritis sebagai alasan di baliknya. Namun penelitian yang dilakuikan oleh Ilmuan USC justru menemukan hal berbeda.
Dibanding menyalahkan pengguna, Ilmuan USC justru mengatakan bahwa platfrom media sosial memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menekan penyebaran berita palsu atau hoax.
Temuan studi ini dipublikasikan melalui jurnal Proceeding National Academy of Science dan menentang kesalahpahaman umum yang sering menyalahkan penyebaran infomasi palsu pada kurangnya kemampuan berpikir kritis dan ketidakmampuan membedakan kebenaran dari kepalsuan atau bias dalam keyakinan politik.
Dikutip dari laman Sci Tech Daily, penelitian ini dilakukan pada 2.400 pengguna Facebook dan hasilnya hanya sekitar 15% yang menyebarkan berita palsu. Tim peneliti USC pun mempertanyaakan apa yang kemudian memotivasi para pengguna ini?
Jawabanya adalah bagaimana sistem media sosial memberikan penghargaan dan mendorong setiap pengguna untuk berbagi informasi dengan akun mereka. Pengguna yang lebih sering memposting infomasi dan bebagi konten apalagi yang sensasional cenderung menarik perhatian yang juga mendatangkan bentuk pengakuan.
“Hal ini karena sistem pembelajaran berbasis penghargaan di media sosial. Pengguna membentuk kebiasaan berbagi infomasi yang kemudian mendapat pengakuan dari orang lain. Begitu kebiasaan ini terbentuk, berbagi infomasi akan secara otomatis diaktifkan oleh isyarat pada platform. Yang mana, ketika melakukan ini pengguna tidak mempertimbangkan dengan kritis, seperti resiko menyebarkan infomasi yang salah,” ucap Wendy Wood, pakar kebiasaan dan professor psikolog di UFC.