Batubara dikenal sebagai komoditas yang paling sering digunakan untuk berbagai kebutuhan masyarakat. Bersamaan dengan minyak bumi dan kelapa sawit, batubara juga disebut-sebut sebagai komoditas ‘primadona’ yang menguntungkan secara bisnis. Negara seperti Indonesia, Australia, Amerika Serikat, Rusia, India, dan Tiongkok masih mengandalkan komoditas batubara.
Selain menguntungkan secara bisnis, batubara juga menjadi salah satu faktor penyebab pencemaran lingkungan. Hal itu disebabkan karena sulitnya perbaikan tambang batubara setelah masa produksi habis. Selain itu, produksi batubara juga menyebabkan polusi udara dan pencemaran lingkungan di sekitar tambang batubara.
Bahkan menurut Jurnal yang dikeluarkan Universitas Mulawarman Samarinda tahun 2016, beberapa lokasi tambang batubara yang berada di wilayah Kelurahan Sempaja Timur, Kecamatan Samarinda Utara mengakibatkan banjir lumpur dan polusi udara yang menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat sekitar.
Di sisi lain, tambang batubara memiliki dampak positif, seperti menurunkan angka pengangguran, meningkatkan pajak daerah, serta program-program CSR yang dijalankan perusahaan tambang.
Terlepas dari dampak positif dan negatif tambang batubara, setidaknya tambang yang mencetak orang-orang kaya tersebut sangat berguna bagi miliaran masyarakat di dunia termasuk di Indonesia.
Mengutip dari Siaran Pers Nomor 254.Pers/04/SJI/2019 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, produksi nasional batubara Indonesia mencapai 480 juta ton. Jumlah tersebut sebagian besar digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Nantinya PLTU yang akan mengaliri listrik ke berbagai sektor di Indonesia. Mulai dari Sektor Rumah Tangga, Perkantoran hingga Industri. Listrik-listrik tersebut mengakomodasi kebutuhan jutaan masyarakat di Indonesia. Selain untuk kebutuhan PLTU, batubara juga menjadi bahan bakar pabrik-pabrik yang menghasilkan industri baja, semen, otomotif, hingga alat kesehatan.