Bau yang kita cium mempengaruhi banyak hal termasuk suasana hati, kinerja atau bahkan perilaku. Tetapi, menurut laman Scientific American, bau mempengaruhi hal-hal tersebut melalui pengalaman yang kita asosiasikan dengan bau tersebut. Jadi, agar bau bisa menimbulkan efek apapun pada seseorang, harus ada proses belajar terlebih dahulu yang mengaitkan bau dengan beberapa peristiwa.
Disebutkan bahwa proses belajar tersebut dikenal sebagai pembelajaran asosiasitif. Sebuah proses dimana satu peristiwa dikaitkan dengan yang lain karena pengalaman individu. Jika dikaitkan dalam proses penciuman, maka contohnya akan seperti ini: Bau baru yang dicium berada dalam konteks stimulus yang tidak terkondisi, misalnya prosedur bedah di rumah sakit, yang akhirnya memicu respon emosional seperti kecemasan.
Bau, lalu menjadi stimulus tak terkondisi yang berkaitan dengan pengalaman di rumah sakit tersebut. Di masa depan, ketika bau yang ditemui tersebut muncul kembali, maka bau yang serupa dapat memicu respon kecemasan yang sama. Mekanisme ini bisa menjelaskan mengapa ada bau yang disukadan tidak.
Terlebih lagi, neurologis penciuman juga diarahkan untuk pembelajaran aosistif dan pemrosesan emosi. Penciuman adalah bagian dari sistem limbik yang terhubung secara langsung dengan amigdala, yaitu struktur limbik yang memproses emosi dan juga hippocampus yang bertanggung jawab pada pembelajaran asosiatif.
Sedangkan, tidak ada sistem sensorik lain yang memiliki jenis hubungan serupa dengan area saraf emosi dan pembelajaran asosiatif. Untuk itu, ada dasar neurologis mengapa bau bisa mempengaruhi suasana hati seseorang.