Di Nusantara soto dikenal dengan berbagai nama. Dalam dialek Jawa setempat disebut soto. Soto ditemukan paling lazim di Jawa dan selama bertahun-tahun hidangan ini bercabang menjadi berbagai macam soto.
Meskipun soto tidak diragukan lagi perkembangannya di Indonesia dan setiap daerah telah mengembangkan resep soto yang khas, beberapa sejarawan berpendapat bahwa itu mungkin dipengaruhi oleh tradisi kuliner asing, terutama Tionghoa.
Banyak yang berpendapat bahwa soto tercipta karena campuran dari tradisi memasak di wilayah tersebut, yaitu masakan Cina, India, dan asli Indonesia. Ada jejak pengaruh Cina seperti penggunaan bihun beras dan bawang putih goreng sebagai bumbu, sedangkan penggunaan kunyit menunjukkan pengaruh India.
Contoh lainnya adalah soto betawi dari Jakarta yang menggunakan minyak samin atau ghee, yang menunjukkan pengaruh Arab atau Muslim India. Ada juga yang berpendapat bahwa beberapa resep soto mencerminkan kondisi masa lalu masyarakatnya.
Soto tangkar yang saat ini adalah sup daging, kebanyakan dibuat dari kaldu tulang rusuk kambing di masa lalu, karena harga daging mahal, atau penduduk Batavia biasa terlalu miskin untuk membeli daging saat itu.
Hidangan sup daging mempengaruhi berbagai daerah dan masing-masing mengembangkan resepnya sendiri, dengan bahan-bahan yang sangat terlokalisasi sesuai dengan bahan yang tersedia dan tradisi memasak setempat. Hasilnya varian soto yang kaya dikembangkan di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2018, soto secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu dari lima hidangan nasional, nasi goreng, sate, rendang, dan gado-gado.
Pada tahun 2018 juga, soto dipromosikan dalam Asian Festival di Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno selama Asian Games 2018 di Jakarta sebagai hidangan yang mewakili keragaman Indonesia.