Permintaan kendaraan listrik yang terus meningkat menjadi pendorong perekonomian Indonesia. Sudah umum di banyak bagian dunia, EV diharapkan mewakili lebih dari 50 persen penjualan kendaraan baru secara global pada tahun 2035, meskipun permintaan bervariasi dari satu negara ke negara lain.
Di Indonesia, teknologi yang ramah lingkungan ini baru marak beberapa tahun belakangan. Untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik, pemerintah Indonesia akan memberlakukan subsidi.
Sementara itu di Norwegia, konsumen dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN) pada kendaraan listrik baru, tidak membayar pajak jalan tol atau pajak tahunan, serta bisa menggunakan jalur bus untuk menghindari macet.
Namun, untuk saat ini baterai masih menjadi komponen yang sangat mahal, sementara harganya telah menurun, dalam beberapa tahun terakhir, inovasi lebih lanjut diperlukan untuk membuat EV lebih terjangkau dan menarik bagi konsumen.
Hal lain yang juga menjadi perhatian dalam pertumbuhan tren kendaraan listrik adalah infrastruktur seperti tempat charging yang saat ini, harus diakui, masih terbatas dan kalah secara jumlah dibanding dengan tempat pengisian BBM.
Di Indonesia, sektor EV masih dalam masa pertumbuhan. Sekitar 15.000 EVmterjual pada tahun 2020, mewakili kurang dari 0,2 persen penjualan kendaraan tahunan, menurut firma riset Research and Markets.
Namun penjualan kemungkinan besar akan meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang. Untuk tahun 2023 hingga tahun 2030, permintaan untuk mobil penumpang mencapai 255.000 unit per tahunnya.
Permintaan motor listrik diperkirakan bisa mencapai 1,9 juta unit per tahun dalam rentang waktu tersebut, atau 30 persen dari penjualan kendaraan roda dua.
Indonesia ditantang untuk menarik produsen untuk mengembangkan EV secara lokal dan pajak impor 50 persen berlaku saat ini. Dalam akselerasinya, diperkirakan sekitar 40 persen kendaraan roda dua dan mobil yang dijual pada tahun 2030 adalah berupa kendaraan listrik.
Dampak kendaraan listrik
Penggunaan kendaraan listrik bukanlah tanpa dampak. Baterai yang digunakan pada kendaraan listrik menggunakan litium. Selain itu, logam lainnya yang digunakan adalah tembaga, kobalt, aluminium, nikel, mangan, juga grafit nonlogam konduktif. Material ini sayangnya terbatas dan pada praktiknya diperoleh dengan cara-cara yang membahayakan pekerja, belum lagi jika mempertimbangkan kerusakan alam yang ditimbulkan akibat proses penambangan.
Misalnya, kobalt yang banyak ditemukan di Kongo biasa diperoleh dari penambang. Tak jarang penambang termasuk wanita dan anak-anak yang bekerja tanpa prosedur maupun peralatan untuk mendukung keselematan mereka, padahal kobalt sendiri termasuk logam berbahaya.
Jika material logam tersebut, terutama litium, tidak bisa diganti dengan alternatif lainnya, produksi kendaraan listrik diperkirakan bisa jadi akan terhenti dalam waktu cepat.
Selain itu, penggunaan kendaraan listrik juga bukan berarti bebas emisi. Nyatanya, proses produksi kendaraan listrik tetap mengeluarkan emisi yang besar. Dilansir dari laman YPTE, pembuatan kendaraan listrik diperkirakan bisa mengeluarkan 150 kg CO2 setiap 1 kWh kapasitas baterai. Artinya, lebih dari 9 ton CO2 dikeluarkan untuk membuat satu mobil listrik.