Nama dawet tercatat dalam manuskrip Serat Centhini awal abad ke 19, yang disusun antara tahun 1814 dan 1823 di Surakarta, Jawa Tengah.
Dikatakan bahwa minuman dawet mungkin telah tercatat dalam naskah Kresnayana, yang berasal dari Kerajaan Kediri sekitar abad ke 12 di Jawa.
Di Jawa, dawet berbahan dasar jelly yang berwarna hijau, biasanya dibuat dari sagu aren atau tepung beras sementara kuahnya sendiri dicampur dengan santan dan gula aren cair.
Sagu atau tepung beras mungkin telah digunakan sebagai bahan makanan pada masyarakat petani padi di Jawa kuno. Cendol dibuat dari produk pertanian di pedesaan, dan diproduksi secara tradisional di pedesaan Jawa.
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, dawet atau cendol disajikan tanpa es, tapi seiring perkembangan zaman cendol ditambahkan dengan es serut.
Cendol telah berkembang secara berbeda di berbagai negara. Di Indonesia, cendol hanya berupa jeli pandan hijau yang disajikan dengan tambahan santan.
Cendol di Malaysia dan Singapura sedikit berbeda, di mana berbagai bahan seperti kacang merah dan jagung manis, bisa dicampur seperti es campur.
Dalam tradisi Jawa, dawet atau cendol adalah bagian dari upacara pernikahan adat Jawa khususnya sehari sebelum pernikahan. Usai siraman para orang tua mempelai akan menjual dawet kepada para tamu dan kerabat yang hadir.
Tamu biasanya membayar dawet dengan menggunakan koin terakota dan diberikan langsung kepada mempelai wanita sebagai simbol untuk penghasilan keluarga.
Makna simbolisnya adalah sebagai harapan orang tua bahwa pernikahan yang dilangsungkan besok akan dihadiri banyak tamu sebanyak jeli cendol yang dijual.