Tiga label musik raksasa, yakni Universal, Sony, dan Warner bersama dengan label lainnya yang tergabung dalam National Music Publishers’ Association (NMPA) kompak menggugat Twitter senilai US$250 juta atau Rp3,7 triliun atas dugaan pelanggaran hak cipta musik.
Seperti diketahui, Twitter saat ini merupakan satu-satunya media sosial besar yang belum memiliki aturan ketat mengenai penggunaan musik di platform mereka. Sementara itu, aplikasi lain seperti YouTube, TikTok, Facebook, Instagram, bahkan Snapchat telah menyepakati pemberian kompensasi kepada musisi atas karya yang mereka ciptakan.
Gugatan sendiri diajukan di pengadilan federal di Tennessee. Penggugat menuding Twitter dengan sengaja membiarkan pengguna mengunggah video yang disertai dengan musik berlisensi untuk menaikkan angka keterlibatan audiens.
“Twitter kemudian memonetisasi cuitan dan akun tersebut melalui iklan, fitur langganan, dan data lisensi, yang mana semuanya meningkatkan valuasi dan pendapatan Twitter.”
Twitter sendiri mengakui bahwa konten berupa video cenderung lebih efektif dalam meningkatkan angka engagement, dan mayoritas pengguna Twitter menonton konten video.
“Ketersediaan video dengan musik, termasuk salinan komposisi musik Penerbit, meningkatkan kepentingan keuangan Twitter karena mendorong keterlibatan pengguna sehingga juga menaikkan pendapatan iklan, ditambah lagi Twitter tidak membayar biaya untuk melisensikan komposisi musik dari Penerbit dan pemegang hak musik lainnya,” tulis pengacara Steven Riley dalam gugatannya.
Sebelumnya pada Desember 2021 lalu, National Music Publishers’ Association mewakili berbagai label musik juga telah mengirimkan pemberitahuan secara berkala kepada Twitter terkait adanya dugaan pelanggaran hak cipta musik. Mereka mengklaim ada lebih dari 300 ribu cuitan yang menyalahi aturan ini.
Namun, Twitter dinilai lamban dan tak melakukan aksi serius untuk mengatasi masalah tersebut.