Multitasking merupakan kemampuan seseorang melakukan dua hal atau lebih pada saat yang bersamaan. Aktivitas ini dianggap mampu membuat kedua tugas selesai dalam waktu yang lebih cepat dengan hasil yang lebih baik. Berdasarkan keyakinan tersebut, muncullah argumen bahwa kemampuan ini dianggap sebagai kemampuan luar biasa. Tetapi, sains justru menunjukkan sebaliknya.
Menurut pernyataan Dr Melissa Gratias, yang dimuat di laman How Stuff Works, multitasking pada kenyataanya hanyalah bentuk pengalihan tugas. Sebab otak tidak mampu memusatkan perhatian pada dua tugas serius, secara bersamaan. Kenyataan ini akan berarti bahwa salah satu dari dua tugas mungkin akan lebih banyak dikorbankan.
Menurut Gratias, otak tidak bisa melakukan banyak tugas secara bersamaan. Otak bekerja dengan cara menyelesaikan tugas secara berurutan, dan satu-persatu. Jadi, saat seseorang melakukan berbagai tugas berbeda secara bersamaan, yang terjadi adalah ia sedang beralih bolak-balik antar satu hal ke yang lainnya. Perilaku ini akan menghasilkan fenomena yang disebut dengan switching cost.
Switching cost didefinisikan sebagai ‘biaya’ pengalihan yang harus dibayar secara kognitif, saat anda beralih tugas. Saat beralih dari satu tugas ke yang lain, otak sebenarnya butuh waktu sejenak untuk sepenuhnya bisa terlibat dalam aktivitas tersebut. Semacam waktu pemanasan yang kita lakukan sebelum berolahraga.
Namun, dampak buruknya, memaksakan untuk melakukan multitasking berlebihan sepanjang hari bisa menyebabkan hilangnya produktivitas sebanyak 40%. Penurunan IQ juga dimungkinkan terjadi sebagai salah satu efek multitasking. Menurut sebuah penelitian di University of London, beberapa pria mengalami penurunan IQ hingga 15 poin saat melakukan banyak tugas selama tes ketrampilan kognitif dilangsungkan.