in

Asal Usul Roti Buaya dalam Tradisi Perkawinan Orang Betawi

Roti Buaya. Foto: Seni budaya Betawi.

Kondisi geografis Jakarta yang dikelilingi oleh 13 sungai membentuk budaya masyarakat Betawi yang tidak lepas dari sungai. Saat itu, buaya merupakan salah satu hewan yang sering ditemui oleh warga Betawi di sungai.

Bagi masyarakat Betawi buaya merupakan cerita legenda. Masyarakat Betawi dahulu percaya bahwa ada sepasang buaya putih jantan dan betina, masing-masing bernama Ki Srintil dan Ni Srintil.

Kedua buaya putih tersebut dipercaya sebagai penjaga beberapa kali atau sungai yang mengelilingi Jakarta, seperti kali Lebak Bulus, kali Cideng, dan kali Gunung Sahari. Keyakinan lain yang muncul saat itu adalah keberadaan buaya yang dianggap sebagai penjaga mata air.

Legenda itulah yang mengilhami reptil sungai ini direplikasi menjadi salah satu item dalam tradisi menyampaikan lamaran. Biasanya dalam bentuk roti buaya dengan panjang antara 50 sampai 70 cm, tergantung kemampuan ekonomi pengantin pria. Dua potong roti buaya yang diantarkan ke keluarga mempelai wanita memiliki ukuran yang berbeda.

Bedanya untuk menunjukkan jenis kelamin, di mana ukuran roti buaya besar disimbolkan dengan calon mempelai pria, sedangkan yang berukuran lebih kecil adalah calon mempelai wanita.

Lebih dari sekedar legenda, penyerahan roti buaya dalam tradisi pernikahan Betawi memiliki makna filosofis yang dalam. Fakta ini mungkin belum banyak diketahui orang, ingin tahu lebih banyak? Berikut informasi singkat yang dihimpun dari berbagai sumber.

Makna roti adalah sarana bagi masyarakat Betawi untuk melestarikan tradisi melalui perkawinan. Melalui roti tersebut, buaya dimaknai sebagai sumber kehidupan sekaligus bentuk kepedulian masyarakat Betawi terhadap lingkungan sekitar.

Sepasang roti buaya diartikan sebagai dua orang yang akan membangun keluarga baru sekaligus menjadi penerus kehidupan. Makna lain dari roti buaya adalah masyarakat Betawi sangat menjunjung tinggi tata krama, tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada lingkungan sekitarnya. Dulu, masyarakat Betawi percaya bahwa setiap tempat pasti ada penjaganya.

Dua potong roti buaya tersebut merupakan simbol bahwa kedua mempelai telah siap menjadi suami istri. Sedangkan simbol kesabaran diambil dari perilaku buaya yang selalu sabar menunggu mangsanya.

Makna filosofis lainnya adalah menyatukan dua karakter manusia tidaklah mudah. Itulah sebabnya suami istri harus bisa saling memahami dan bersabar dalam menjalani kehidupan berumah tangga.

Makna lain dari sesaji roti buaya juga berasal dari tingkah laku seekor buaya jantan yang sepanjang hidupnya hanya mengawini satu betina. Perilaku buaya jantan saat betina bertelur akan sangat protektif terhadap ancaman predator lainnya.

Jauh sebelum alat pembuat roti muncul, masyarakat Betawi membuat roti buaya dari anyaman daun kelapa dan kayu. Dan sejak munculnya industri pembuatan roti yang diperkirakan terjadi pada abad ke 18, replika bahan pembuat buaya itu diubah menjadi roti.