in

Filosofi Kue Dongkal Khas Betawi

Kue dongkal atau pada zaman dulu disebut japuran dongkal, meski termasuk kudapan tempo dulu kue dongkal masih banyak peminatnya hingga saat ini.

Kue yang satu ini juga dijual turun temurun, seperti salah satu penjual kue dongkal di desa Srimukti Tambun Utara ini yang merupakan generasi ketiga menjual dongkal sejak 1980.

Untuk membuat kue dongkal, caranya dengan mengaduk tepung beras dengan kelapa parut, lalu kukus dengan kukusan tradisional berbentuk kerucut. Metode kukus dengan bentuk kerucut ini, selain dinilai bisa bikin kue jadi lebih pulen, juga membuat kue dongkal berbentuk layaknya nasi tumpeng.

Jangan lupa beri gula aren di setiap lapisannya kue dongkal. Gula aren pada kue dongkal tak hanya berfungsi sebagai penambah rasa, tapi juga punya filosofis tersendiri.

Manis dari gula aren di antara lapisan tepung beras yang pulen dimaknai sebagai kehidupan yang dijalani tak selamanya pahit, sementara bentuknya yang mengerucut diartikan sebagai kehidupan yang membutuhkan pondasi yang kokoh meski semuanya mengerucut ke atas, yang artinya kehidulan kembali pada Tuhan yang maha kuasa.

Cukup sulit menemukan produksi kue dongkal, meski sudah dikonsumsi sejak dulu. Sayang sekali tak ada literatur yang mengkaji sejarah kue dongkal.

Masyarakat di Jakarta hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut tentang kue dongkal, warga Betawi meyakini kue dongkal dulu jadi kudapan wajib saat upacara adat seperti pernikahan dan perayaan keagamaan

Sekarang pun masih sama hanya tak lagi wajib, karena banyaknya kudapan lain yang lebih beragam. Usaha kue dongkal pun tak hanya diproduksi oleh orang Betawi asli, tapi sayang belum banyak yang tergoda untuk ikut menjual dan menjaga tradisi kue tradisional Betawi ini.