in ,

Teori terbentuknya negara

Setiap negara tidak secara otomatis terbentuk dengan sendirinya. Mereka memiliki sejarah panjang sendiri-sendiri. Tidak hanya itu, bentuk negara yang dipilihnya pun berbeda-beda bergantung dengan latar belakang negaranya.

Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing di antaranya state (bahasa Inggris), etat (bahasa Prancis), atau staat (bahasa Belanda dan Jerman). Adapun secara terminologi, negara didefinisikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu. Caranya, dengan hidup bersama dalam suatu kawasan yang memiliki pemerintahan yang berdaulat.

Suatu negara dapat berdiri jika memenuhi tiga unsur, yakni masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut harus didukung dengan unsur lainnya berupa konstitusi dan pengakuan negara-negara lainnya yang disebut dengan unsur deklaratif.

Ada dua macam pengakuan suatu negara, yakni secara de facto dan secara de jure. Pengakuan de facto merupakan pengakuan atas fakta adanya suatu negara. Hal tersebut didasarkan pada fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsur utama negara, yakni wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan, pengakuan de jure merupakan pengakuan mengenai kesahan suatu negara dengan dasar pertimbangan yuridis menurut hukum. Dengan adanya pengakuan de jure maka suatu negara mendapat hak-haknya di samping kewajiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban yang dimaksud ialah mendapatkan kebebasan untuk bertindak dan diberlakukan sebagai suatu negara yang berdaulat penuh di antara negara-negara lain.

Teori Pembentukan Negara

Pembentukan negara tidak terjadi begitu saja, ia melewati proses yang panjang. Proses-proses tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam teori terbentuknya suatu negara. Berikut rincian teori terbentuknya negara.

1. Teori Hukum Alam

Terbentuknya negara dapat terjadi karena adanya hukum alam. Teori hukum alam mengungkapkan jika hukum alam tidak dibuat oleh negara, tetapi karena adanya kehendak dari alam. Thomas Aquinas memaparkan jika pembentukan serta keberadaan negara tidak dapat lepas dari hukum alam.

Karena secara hukum alam, manusia harus saling berdampingan serta bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak hanya itu, secara alami, manusia merupakan makhluk sosial dan politis yang perlu mendirikan komunitas untuk mengemukakan pendapat serta menyumbangkan pemikiran.

2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)

Teori ketuhanan dikenal sebagai istilah doktrin teokritis. Teori ini dapat dijumpai dari sisi dunia bagian timur ataupun barat. teori ketuhanan memiliki bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan sarjana Eropa pada abad pertengahan dengan menggunakan teori ini sebagai dasar pembenaran kekuasaan mutlak para raja.

Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki raja bersumber dari Tuhan. Mereka mendapat mandate Tuhan untuk bertakhta sebagai penguasa. Para raja merasa dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia yang diberikan tanggung jawab kekuasaan dan mempertanggungjawabkannya hanya kepada Tuhan, bukan manusia.

Praktik model kekuasaan seperti ini, ditentang oleh kalangan monarchomach (penentang raja). Menurut mereka, raja menjadi tirani yang dapat diturunkan atau dilengserkan dari tahtanya. Bahkan dapat dibunuh. Mereka menganggap bahwa kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat.

Dalam sejarah tata negara Islam, pandangan teokritis serupa pernah dijalankan raja-raja Muslim sepeninggal Nabi Muhammad. Dengan mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia (khalifatullah fi al-ard, dzilullah fi al-ard), raja-raja muslim tersebut umumnya menjalankan kekuasaannya secara tiran.

Keadaan tidak jauh berbeda dengan para raja-raja di Eropa pada abad pertengahan, raja-raja muslim merasa tidak harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi langsung kepada Allah. Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah).

Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sama halnya dengan pengalaman teokrasi di barat, penguasa teokrasi Islam menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti-kerajaan.

3. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)

Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat menganggap bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini menitikberatkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani.

Hal tersebut disebabkan oleh keberlangsungannya ada pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara. Adapun tokoh yang menganut aliran ini di antaranya Thomas Hobbes, John Locke, dan J. J. Roussae.

Menurut Hobbes, kehidupan manusia terpisah menjadi dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah (status naturalis, state of nature), dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes, keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera.

Namun, sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu di dalamnya. Hobbes beranggapan bawah,  kontrak atau perjanjian bersama individu-individu dibutuhkan. Yang dulunya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.

John Locke mendefinisikan teori terbentuknya negara sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling menolong antarindividu dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun keadaan alamiah dalam pandangan Locke merupakan suatu yang ideal.

Baginya, keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan karena tidak adanya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Di sini, unsur pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi menghindari konflik di antara warga negara yang didasarkan pada alasan inilah negara menjadi mutlak didirikan.

Namun, penyelenggara negara atau pimpinan negara juga harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Dasar pemikiran kontrak sosial antar negara dan warga negara dalam pandangan Locke ini menjadi suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas.

Hal tersebut disebabkan karena dalam melakukan perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-hak alamiah yang menjadi bagian hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.

J. J. Rosseu memili pandangan sendiri mengenai terbentuknya negara. Menurtnya, keberadaan suatu negara didasarkan pada perjanjian warga negara untuk meningkatkan diri dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik.

Pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, tetapi hanya organisasi politik yang dibentuk dengan cara kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi negara dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakil dari warga negara.

Yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih dari sebuah komisi atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut. Melalui pemikirannya, Rosseu dikenal sebagai peletak dasar bentuk negara yang kedaulatannya ada di tangan rakyat melalui organisasi politik mereka.

Artinya, ia juga sekaligus dikenal sebagai penggagas paham negara demokrasi yang bersumberkan pada kedaulatan rakyat, yakni rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanyalah merupakan wakil-wakil rakyat pelaksana mandat mereka

4. Teori Kekuatan

Secara sederhana, teori kekuatan dapat diartikan sebagai negara terbentuk disebabkan adanya dominasi negara kuat yang menjajah. Kekuatan menjadi pembenaran (raison d’etre) dari terbentuknya sebuah negara.

Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu maka dimulailah proses pembentukan suatu negara  Atau dapat diasumsikan bahwa terbentuknya suatu negara disebabkan oleh adanya pertarungan kekuatan, yang mana pemenangnya yang akan membentuk sebuah negara.

Awalnya, teori ini bersumber dari kajian antropologis atas pertikaian di kalangan suku-suku primitif. Yang mana, sang pemenang akan menjadi penentu uatama kehidupan suku yang dikalahkan.

Sebagai contoh dalam kehidupan modern adalah penaklukkan dalam bentuk penjajahan bangsa-bangsa barat kepada bangsa-bangsa timur. Setelah masa penjaajahan selesai pada awal abad ke-20, dijumpai banyak negara baru yang kemerdekaannya ditentukan oleh penguasa kolonial. Misalnya negara Brunei Darussalam dan Malaysia.