Salah satu film yang diadaptasi dari novel adalah Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan ternama Indonesia.
Film Bumi Manusia diproduksi oleh PT Falcon dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Bumi Manusia menceritakan kisah cinta dua anak manusia di tengah kesenjangan sosial.
Tokoh utamanya, Tirto Adhi Soerjo, atau Minke, adalah seorang bumiputera keturunan priyayi yang mendapatkan kesempatan bersekolah di HBS, sekolah khusus untuk kolonial dan elite lokal.
Di sekolah tersebut, Minke bertemu Annelies, seorang gadis keturunan Indo-Belanda. Keduanya saling jatuh cinta, meski hubungan mereka mendapat banyak tentangan.
Ibu Annelies, Nyai Ontosoroh, yang juga bumiputera, menjadi pendukung setia Minke. Namun, akhir kisah mereka tragis.
Nyai Ontosoroh kehilangan hak asuh atas Annelies, dan Minke serta Annelies harus berpisah. Film ini menggambarkan bagaimana bumiputera dipandang rendah di tanahnya sendiri pada masa kolonial.
Membandingkan film dan novel
Bagi penikmat sastra, idealisme terhadap karya asli sangat kuat. Penggambaran novel dalam bentuk film seringkali dibandingkan dengan aslinya.
Penonton film tidak hanya terdiri dari pecinta film, tetapi juga dari pembaca novel dan penggemar sastrawan. Hal ini menyebabkan perbandingan antara novel dan film tak terelakkan.
Banyak penonton merasa bahwa ekspektasi mereka terhadap film “Bumi Manusia” tidak terpenuhi. Di media sosial, banyak yang mengeluhkan bahwa adegan penting dalam novel tidak terwujud dalam film.
Namun, proses ekranisasi memang melibatkan perubahan. Mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar bergerak memerlukan penciutan, penambahan, dan variasi (Eneste, 1991:60).
Kontroversi pemilihan aktor
Hanung Bramantyo memilih Iqbal Ramadhan, Mawar Eva De Jongh, dan Ine Febriyanti sebagai pemeran utama.
Pilihan Iqbal sebagai Minke menuai banyak kritik dari netizen. Mereka berpendapat bahwa visual Iqbal tidak sesuai dengan penggambaran Minke dalam novel. Kekhawatiran muncul bahwa karakter Minke yang kuat dalam novel akan hilang jika tidak diperankan dengan tepat.
Selain itu, banyak yang beranggapan bahwa Iqbal masih terbayang sebagai Dilan, karakter yang ia mainkan sebelumnya. Logat Jawa Iqbaal juga dirasa kurang medok. Namun, ada juga yang memuji Iqbal berhasil membawakan karakter Minke dengan baik.
Kritik kostum dan setting
Kritik juga datang terkait kostum yang digunakan dalam film. Banyak yang menilai kostum Annelies tidak sesuai dengan zamannya.
Rumi Siddharta, seorang pakar fashion, turut mengkritik gaya busana dalam film ini. Namun, Retno, fashion designer film, menjelaskan bahwa kostum telah didiskusikan dengan sejarawan dan sutradara.
Dibayangi cerita novel
Sebagai hasil alih wahana, Bumi Manusia terus dibayangi cerita dalam novel. Pembaca yang idealis selalu membandingkan penggambaran novel dengan film.
Sejak awal, berbagai kontroversi muncul, banyak yang merasa bahwa film tidak dapat memvisualisasikan karya sastra dengan akurat. Namun, industri film tetap melanjutkan proyek ini.
Film Bumi Manusia lebih memfokuskan pada kisah cinta Minke dan Annelies daripada kritik sosial yang mendalam seperti dalam novel.
Dengan durasi tiga jam satu menit, film ini mencoba mengadaptasi cerita panjang dan kompleks menjadi lebih praktis dan mudah diikuti penonton.
Film Bumi Manusia adalah hasil perpaduan antara idealisme pembaca dan pragmatisme industri film. Meski banyak yang merasa kecewa, industri film tetap berusaha memberikan yang terbaik dengan memanfaatkan teknologi modern.
Kritik dan saran dari penonton menjadi bahan evaluasi penting. Sebagai penikmat seni, kita sepatutnya menghargai usaha para pembuat film.
Meskipun tidak sepenuhnya memenuhi ekspektasi, film ini tetap berhasil menarik perhatian dan menghidupkan kembali karya sastra Pramoedya Ananta Toer kepada generasi baru.