Secara teknis, “Atlas” adalah film fiksi ilmiah. Diatur dalam masa depan yang tidak ditentukan, film ini disutradarai oleh Brad Peyton dan dibintangi oleh Jennifer Lopez sebagai seorang analis data yang bertugas menghentikan “teroris AI pertama di dunia”.
Teroris ini adalah robot bernama Harlan (diperankan oleh Simu Liu) yang telah merusak programnya sendiri untuk mengatur pembantaian massal.
Namun, berbeda dari “Blade Runner” yang penuh dengan kedalaman filosofis dan visual yang mengesankan, “Atlas” lebih cocok sebagai tontonan ringan di pesawat.
Meskipun berlatar perang robot, inti cerita film atlas sebenarnya adalah perjalanan emosional seorang wanita yang belajar mencintai lagi.
Film ini menampilkan Jennifer Lopez, seorang bintang yang dikenal karena kemampuannya menampilkan emosi dan keterbukaan dalam hal cinta, yang mana menjadi tema sentral film ini.
Sekilas tentang plot
Di awal film, Atlas (Jennifer Lopez) direkrut oleh jenderal militer internasional Booth (Mark Strong) untuk menangkap Harlan, yang bersembunyi di planet terpencil selama 28 tahun terakhir.
Atlas digambarkan sebagai seorang jenius, yang bahkan bisa mengalahkan asisten virtual holografiknya di catur untuk ke-71 kalinya. Namun, Harlan tidak hanya sekadar musuh baginya; dia adalah robot yang sangat dikenalnya, karena dia adalah putri dari penciptanya yang sudah meninggal.
Pengkhianatan Harlan membuat Atlas menjadi waspada terhadap AI dan teknologi.
Ketika Kolonel Banks (Sterling K. Brown) dan timnya memperkenalkan teknologi Neural Links yang memungkinkan integrasi sempurna antara otak manusia dan pelindung yang dikendalikan AI, Atlas memilih untuk menjalankan misinya dengan cara yang lebih analog.
Namun, serangan tak terduga memaksanya menggunakan mech suit yang dikendalikan oleh AI bernama Smith (disuarakan oleh Gregory James Cohan).
Perjalanan emosional atlas
Seiring berjalannya cerita, hubungan antara Atlas dan Smith berkembang. Meskipun pada awalnya Atlas penuh kecurigaan, ia perlahan membuka diri kepada Smith.
Dalam misi mereka untuk menetralisir Harlan, Atlas mulai berbagi masa lalunya dan terlibat dalam percakapan yang mendalam tentang kehidupan dan eksistensi.
Dialog antara Atlas dan Smith, meskipun kadang terasa biasa saja, berhasil disampaikan dengan baik berkat chemistry antara Cohan dan Lopez.
Atlas dan Smith semakin sinkron seiring dengan meningkatnya bahaya di sekitar mereka. Mereka mencapai simbiosis sempurna, sebuah konsep yang dijelaskan oleh Banks sebelumnya.
Namun, di layar, ini lebih terlihat sebagai kemampuan untuk menyelesaikan kalimat satu sama lain, yang meskipun terdengar keren, tidak terlalu mengesankan secara visual.
Aspek sosial dan filosofis
Sayangnya, “Atlas” tidak banyak mengeksplorasi isu-isu sosial atau filosofis yang muncul dari premisnya.
Pertanyaan tentang apa yang mencegah generasi android baru dari menjadi nakal seperti Harlan, atau bagaimana hubungan kita dengan teknologi berubah setelah Harlan membebaskan begitu banyak mesin dari pemrogramannya, tidak dijawab dengan memadai.
Film ini lebih fokus pada masalah pribadi dan emosional Atlas, terutama mengenai kepercayaannya terhadap AI dan teknologi.
Pada akhirnya, “Atlas” lebih tentang perjalanan emosional pribadi daripada petualangan fiksi ilmiah yang mendalam.
Dengan latar belakang futuristik dan elemen fiksi ilmiah, film ini menawarkan pandangan unik tentang cinta dan kepercayaan di masa depan.
Meskipun tidak menapaki medan emosional baru, ada sesuatu yang aneh dan romantis tentang harapan bahwa menyembuhkan hati seseorang bisa menjadi langkah pertama dalam menyelamatkan dunia.
Film ini mungkin tidak menawarkan sesuatu yang revolusioner dalam genre fiksi ilmiah atau romansa, tetapi kehadiran Jennifer Lopez dan cerita yang emosional membuatnya layak untuk ditonton. Jadi, jika Anda mencari film yang ringan dengan sentuhan emosional, “Atlas” bisa menjadi pilihan yang tepat.