in

Miracle in Cell No. 7 Versi Indonesia, Kisah Cinta Ayah dan Anak dalam Penjara

Film “Miracle in Cell No. 7” versi Indonesia berhasil mengubah pandangan kita tentang penjara yang biasanya keras dan dingin menjadi ruang yang hangat penuh cinta. 

Sutradara Hanung Bramantyo berhasil mengadaptasi film ini dari versi Korea dengan sangat baik, membuat para penonton terbawa emosi hingga menangis haru.

Kesuksesan film di layar lebar

Tidak jauh berbeda dengan versi aslinya, film ini bercerita tentang seorang ayah difabel bernama Dodo (diperankan oleh Vino G. Bastian) yang ditangkap atas tuduhan kejahatan yang tidak pernah ia lakukan. Hal ini membuat putrinya yang masih kecil, Kartika (diperankan oleh Graciella Abigail), berusaha mencari ayahnya hingga ke penjara.

Berkat bantuan dari sekelompok narapidana, Kartika berhasil masuk ke dalam sel tempat Dodo ditahan hingga hari eksekusinya. 

Kisah mereka penuh dengan perpisahan, kehilangan, dan ketidakadilan, tetapi dibalik itu semua terdapat cinta yang kuat antara ayah dan anak.

Menghadirkan sentuhan Indonesia

Mengadaptasi cerita Korea ke dalam budaya Indonesia tentu bukan hal yang mudah. Namun, Hanung Bramantyo berhasil melakukannya dengan baik melalui berbagai tambahan adegan yang menyesuaikan dengan realita di Indonesia. 

Penjara digambarkan dengan visual yang realistis, menunjukkan kondisi yang tidak terawat dan penuh kekerasan.

Unsur keberagaman dan keagamaan juga ditampilkan dengan kuat dalam versi Indonesia ini, sesuai dengan masyarakat Indonesia yang beragam dan beragama. 

Salah satu adegan yang paling berkesan adalah saat anak-anak kecil menyanyikan lagu Islami mengiringi aksi Dodo mencoba melarikan diri dengan balon udara, memberikan nuansa magis pada film ini.

Keberagaman karakter

Karakter para narapidana yang membantu Dodo juga mencerminkan keberagaman Indonesia, baik dari segi budaya, celotehan, hingga agama. Hal ini membuat film terasa sangat lokal dan dekat dengan penonton Indonesia.

Cinta ayah dan anak sebagai sumber kekuatan

Hubungan antara Dodo dan Kartika sangat menyentuh hati. Vino G. Bastian dan Graciella Abigail berhasil menggambarkan cinta ayah dan anak yang sangat nyata dan penuh emosi. 

Dodo, meski dengan segala keterbatasannya, selalu berusaha menjadi ayah terbaik bagi Kartika.

Momen sebelum eksekusi menjadi puncak emosi dalam film ini, dimana Dodo menyalurkan seluruh kekuatannya kepada Kartika, yang harus hidup sendiri tanpa ayahnya. Kartika, meskipun masih anak-anak, terlihat sangat dewasa karena ia yang merawat ayahnya selama ini.

Kekuatan cinta tersebut terus terlihat dalam karakter Kartika dewasa (diperankan oleh Mawar de Jongh) yang bertekad mewujudkan keadilan untuk sang ayah. Ia menjadi sosok yang berdaya dan penuh tekad dalam hidupnya.

Menguras emosi penonton

Hanung Bramantyo dikenal dengan keahliannya dalam menggarap film drama keluarga yang penuh emosi. Di “Miracle in Cell No. 7”, ia kembali menunjukkan keahliannya tersebut. 

Setiap adegan dibuat sedemikian rupa sehingga penonton mudah bersimpati dengan karakter dan situasi yang mereka hadapi.

Meskipun begitu, ada beberapa adegan yang terasa terlalu dramatis dan kurang pas penempatannya. Berbeda dengan versi Korea, versi Indonesia ini lebih banyak menghabiskan waktu pada kilas balik dan dialog untuk memperdalam simpati penonton.

Secara keseluruhan, “Miracle in Cell No. 7” versi Indonesia berhasil menghadirkan cerita yang menguras air mata di setiap adegannya. 

Karakter-karakternya tidak ada yang sia-sia, semua memiliki peran penting yang mendorong cerita terus bergerak. Film ini berhasil membawa drama keluarga Korea ke dalam nuansa yang sangat Indonesia, membuatnya terasa dekat dan menyentuh hati penonton. 

Jika kamu mencari film yang bisa membuatmu tertawa, menangis, dan merasakan cinta yang tulus, “Miracle in Cell No. 7” adalah pilihan yang tepat.