in

Review Film The Whale yang Penuh Makna

the whale

Darren Aronofsky, seorang sutradara yang telah berkarya selama 25 tahun, selalu konsisten mengangkat tema penderitaan dalam film-filmnya, seperti The Whale.

Setiap karakter yang ia ciptakan selalu dihadapkan pada penderitaan luar biasa, yang menggiring mereka ke titik terendah dalam hidup.

 Melalui penderitaan ini, Aronofsky berusaha menunjukkan protagonisnya, memaparkan wajah manusia secara apa adanya, tanpa topeng moralitas atau religiusitas.

“The Whale”: Potret Penderitaan Diri Sendiri

Film “The Whale”, adaptasi dari naskah panggung karya Samuel D. Hunter yang juga menulis skenario filmnya, tidak berbeda. 

Kali ini, Aronofsky mengangkat penderitaan yang berasal dari kebencian terhadap diri sendiri. Kebencian yang membuat seseorang merasa perlu menghukum dirinya sendiri.

Charlie, yang diperankan oleh Brendan Fraser, adalah seorang pria yang menderita obesitas dengan berat badan mencapai 300 kilogram. 

Karena kondisinya, Charlie menghabiskan sebagian besar waktunya di sofa, termasuk saat mengajar kelas menulis daring. Ia mematikan kamera saat mengajar agar murid-muridnya tidak melihat kondisinya.

Pergulatan dengan kesehatan dan kehidupan

Kesehatan Charlie semakin memburuk. Sahabatnya, Liz (diperankan oleh Hong Chau), yang juga seorang perawat, terus mendorong Charlie untuk pergi ke rumah sakit. 

Namun, tanpa asuransi kesehatan, Charlie merasa tidak mampu membayar biaya pengobatan. Ia memilih pasrah menanti ajal sambil terus mengonsumsi makanan cepat saji dalam porsi besar setiap hari.

Menonton “The Whale” bukanlah pengalaman yang mudah. Rasanya seperti melihat seseorang mendekati ajalnya dengan cara yang paling menyakitkan. 

Selama hampir dua jam, penonton disuguhi pemandangan apartemen Charlie yang kecil, gelap, dan pengap. Atmosfer semakin menyesakkan dengan penggunaan rasio layar 4:3 yang sempit.

Interaksi karakter dan kemanusiaan

Namun, layaknya sutradara teater yang kompeten, Aronofsky berhasil memanfaatkan keterbatasan latar untuk menyoroti interaksi antar karakter. Interaksi ini penuh dengan curahan penderitaan khas Aronofsky. 

Masuknya beberapa karakter pendukung seperti Thomas (Ty Simpkins), seorang misionaris, dan putri Charlie, Ellie (Sadie Sink), membuka jalan bagi eksplorasi berbagai sisi kemanusiaan. Mulai dari kesalahpahaman hingga perasaan bersalah.

DNA Aronofsky dalam setiap adegan

“The Whale” sedikit berbeda karena lebih optimis, terutama di bagian akhirnya. Film ini mendekati ranah melodrama, dimana emosi diluapkan secara lantang. 

Meski manipulatif, film ini efektif memberikan dampak. Walaupun penulisan Hunter cenderung berantakan, pesan-pesan film ini tetap tersampaikan dengan jelas.

Performa akting yang memukau

Dalam hal akting, Sadie Sink berhasil membawa kompleksitas emosi remaja yang sarat ambiguitas, sementara Hong Chau menjadi penyeimbang di tengah karakter-karakter yang “kacau”. 

Namun, bintang utama film ini tentu saja Brendan Fraser. Fraser seolah menyalurkan seluruh rasa sakit dan penderitaan yang pernah ia alami dalam penampilannya. 

Penampilannya begitu memikat, sampai intensitas film mengendur ketika ia absen beberapa menit demi memberi ruang bagi eksplorasi karakter Ellie dan Thomas.

“I need to know that I have done one thing right with my life!”. Momen ketika Fraser meneriakkan kalimat ini adalah salah satu yang paling mengesankan. 

Pertama, untuk mengagumi performa aktor. Kedua, karena kalimat tersebut seperti menampar, mengingatkan kita pada pertanyaan penting: Apakah kita sudah melakukan satu hal yang benar dalam hidup? Jika belum, apakah hidup ini berarti berjalan sia-sia?

Melalui “The Whale”, Darren Aronofsky sekali lagi menunjukkan kemampuannya dalam menelanjangi manusia dan mengungkapkan sisi terdalam kemanusiaan melalui penderitaan yang dialami karakternya. 

Film ini adalah cerminan nyata dari gaya khas Aronofsky yang penuh dengan kedalaman emosional dan penceritaan yang memikat.