in

Film The Flash, Transformasi Barry Allen dalam Konsep Multiverse

the flash

“The Flash” adalah film live-action pertama yang sepenuhnya berfokus pada Barry Allen setelah debutnya di Batman vs Superman: Dawn of Justice pada 2016. 

Namun, perilisan film ini juga dibayangi oleh kontroversi terkait masalah hukum pemeran utamanya.

Kontroversi di balik The Flash

“The Flash” digarap oleh Andy Muschietti, yang dikenal melalui karya horornya. Meski sempat terlibat dalam berbagai masalah, Ezra Miller tetap kembali memerankan Barry Allen. 

Selain Miller, film ini dibintangi oleh Sasha Calle, Michael Keaton, Ben Affleck, Ron Livingston, dan Maribel Verdu. 

Terinspirasi dari komik Flashpoint, “The Flash” menceritakan petualangan Barry Allen yang menemukan bahwa ia bisa melakukan perjalanan waktu menggunakan Speed Force. 

Barry nekat kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan ibunya, tanpa menyadari konsekuensi besar yang akan merubah seluruh semesta.

Review The Flash: Perjalanan dewasa dalam konsep multiverse

Meski Ezra Miller banyak terlibat masalah sebelum perilisan “The Flash”, Warner Bros. memilih untuk tidak melibatkan Miller dalam promosi film. Justru, promosi lebih banyak menonjolkan Batman versi Michael Keaton dan Supergirl. 

Namun, setelah menonton filmnya, saya bisa katakan bahwa fokus utama tetap pada perjalanan pendewasaan Barry Allen. Batman dan Supergirl hadir sebagai pendukung dalam perkembangan karakter Barry.

Naskah “The Flash” digarap oleh Christina Hodson, yang juga menulis naskah Birds of Prey dan Bumblebee. Hodson berhasil menjelaskan konsep multiverse dengan cara yang sederhana namun efektif. 

Ada satu adegan di mana Batman versi Keaton menjelaskan konsep multiverse kepada Barry dengan menggunakan spageti, membuat penjelasan tersebut lebih mudah dipahami dan relevan dengan kekacauan yang dialami Barry.

Konflik dan resolusi

Meskipun secara keseluruhan ceritanya menarik, bagian akhir film agak mengecewakan. Terungkapnya identitas Dark Flash sebagai villain utama terasa predictable dan kurang memuaskan. 

Meski begitu, film ini menyajikan banyak fan service yang menghibur, yang sedikit banyak mengalihkan perhatian dari kelemahan tersebut.

Ezra Miller: Pemeran yang tepat untuk Barry Allen

Pada akhir Mei, sutradara Andy Muschietti mengungkapkan bahwa ia ingin kembali bekerja dengan Ezra Miller jika ada kesempatan membuat sekuel “The Flash”.

Meski aktor ini kontroversial, Muschietti yakin tidak ada yang bisa memerankan Barry Allen sebaik Miller. 

Dan setelah menonton film ini, saya memahami alasan di balik pernyataan tersebut. Miller berhasil memerankan tiga versi Barry dengan sangat baik, termasuk Dark Flash, yang menjadi villain utama film ini.

Penampilan aktor lain

Michael Keaton dan Sasha Calle juga memberikan penampilan yang memukau sebagai Batman dan Supergirl. Keaton, dengan pengalamannya, tidak perlu diragukan lagi, sedangkan Calle berhasil menampilkan Supergirl yang tangguh sekaligus rentan. 

Kolaborasi antara Miller, Keaton, dan Calle menciptakan dinamika yang kuat dan menarik dalam film ini.

Kekurangan di sisi CGI

Walaupun “The Flash” menampilkan banyak CGI, kualitasnya terasa kurang maksimal. Adegan yang menunjukkan Barry menggunakan Speed Force sering kali terlihat kurang realistis, dengan makhluk hidup yang tampak seperti animasi. 

Meski begitu, scoring dalam film ini sangat mendukung dan mengangkat setiap momen penting, dengan theme song dari berbagai superhero yang berbeda.

“The Flash” adalah film yang menyoroti perjalanan pendewasaan Barry Allen dalam konsep multiverse yang kompleks namun menarik. 

Meski ada kelemahan di bagian CGI dan penyelesaian konflik, film ini tetap menghadirkan cerita yang menyenangkan dan menyentuh hati. Untuk penggemar DCEU, The Flash menawarkan pengalaman yang tak boleh dilewatkan.