in

Review Film Indiana Jones and the Dial of Destiny

Indiana Jones and the Dial of Destiny

Indiana Jones and the Dial of Destiny” hadir sebagai film yang tidak pernah membosankan meski tidak sepenuhnya dinilai menghibur. 

Film ini menampilkan alur cerita yang inovatif, seimbang dengan dosis nostalgia yang dibawa oleh penonton setia ke dalam bioskop. 

Harrison Ford kembali mengenakan topi ikoniknya, memberikan kehangatan nostalgia bagi penggemar lama. 

Meskipun film ini memiliki beberapa kekurangan, terutama dalam penggunaan efek CGI yang berlebihan, “The Dial of Destiny” tetap menyajikan petualangan yang menarik.

Prolog yang menggugah dan CGI yang mengganggu

Film dibuka dengan kilas balik ke hari-hari terakhir Perang Dunia II, di mana Indiana Jones (Harrison Ford) bersama rekannya Basil Shaw (Toby Jones) mencoba merebut kembali artefak yang dicuri oleh Nazi. 

Meskipun adegan ini menghadirkan aksi yang solid, penggunaan CGI yang membuat Ford terlihat lebih muda terasa kurang mulus dan mengganggu. 

Ini adalah contoh pertama dari kelemahan utama film ini: Efek visual yang terlalu banyak dan kurang halus.

Pengenalan Villain dan plot yang kuat

Prolog memperkenalkan kita pada Jurgen Voller (Mads Mikkelsen), seorang astrofisikawan Nazi yang mencari Dial Archimedes, sebuah artefak kuno yang diklaim dapat memprediksi posisi astronomi. 

Voller percaya bahwa hal ini bisa memberinya kekuatan besar, hampir seperti Tuhan. Meski konsep ini menarik, film kadang kehilangan momentum karena terlalu bergantung pada CGI.

Petualangan berlanjut di tahun 1969

Melompat ke tahun 1969, kita melihat Indiana Jones yang sudah tua, pensiun dari Hunter College dan menghadapi kehidupan yang berubah setelah kehilangan putranya, Mutt, dalam Perang Vietnam. 

Emosi tersembunyi dalam penampilan Harrison Ford menambah kedalaman pada karakter Indy, menunjukkan betapa ia masih bisa memberikan performa dramatis yang kuat.

Kemunculan Helena Shaw dan pengejaran yang menegangkan

Petualangan kembali dimulai ketika Helena Shaw (Phoebe Waller-Bridge), putri Basil Shaw, muncul dengan niat menjual separuh dial miliknya. 

Bersama Indy, mereka terlibat dalam serangkaian adegan pengejaran yang penuh aksi, termasuk adegan kejar-kejaran kuda yang ikonik. 

Namun, beberapa adegan aksi ini terasa kurang koheren dan terkadang sulit diikuti.

Tantangan dalam koreografi aksi

Sutradara James Mangold, yang sebelumnya sukses dengan “Logan”, tampak kesulitan mengarahkan rangkaian aksi dengan kejelasan dan intensitas yang sama seperti Steven Spielberg. 

Adegan kejar-kejaran mobil di Tangier, misalnya, terasa berantakan dan kurang memiliki bobot serta taruhannya. 

Bahkan adegan dalam kapal karam yang seharusnya menegangkan terasa kurang efektif dalam eksekusi.

Pencarian harta karun yang menghanyutkan

Saat Indy dan Helena benar-benar berburu harta karun, film ini mulai menemukan iramanya. Musik ikonik John Williams kembali memberikan sentuhan magis, membuat momen-momen ini terasa lebih hidup dan mendalam. 

Sayangnya, aspek emosional yang kuat dari cerita baru terasa di akhir, meninggalkan kesan bahwa film ini bisa lebih baik dengan naskah yang lebih kuat dan tajam.

“Indiana Jones and the Dial of Destiny” adalah film yang penuh nostalgia dan aksi. Meskipun memiliki kelemahan, terutama dalam penggunaan CGI dan beberapa adegan aksi yang kurang koheren, film ini tetap berhasil menghadirkan petualangan yang menghibur. 

Bagi penggemar setia Indiana Jones, film ini adalah perjalanan yang layak untuk dinikmati, meski tidak sefenomenal trilogi aslinya. 

Harrison Ford masih menunjukkan mengapa ia menjadi ikon dalam peran ini, dan petualangan baru ini, meski tidak sempurna, tetap memberikan kenangan indah bagi penggemar lama dan baru.