in

Pacu Kuda Masa Kolonial di Bandung

Pada masa kolonial Belanda, balap kuda merupakan salah satu olahraga dan hiburan yang populer di kalangan masyarakat kolonial di Hindia Belanda, termasuk di Bandung. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang olahraga, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sosial dan budaya elit kolonial.

 

Sejarah Balap Kuda di Bandung

Balap kuda di Bandung dimulai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kota Bandung, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan di Priangan, memiliki banyak fasilitas yang mendukung kegiatan ini. Salah satu tempat terkenal untuk balap kuda adalah lapangan pacuan kuda di daerah Tegalega.

 

Lapangan Pacuan Kuda Tegalega

Lapangan pacuan kuda Tegalega menjadi pusat kegiatan balap kuda di Bandung. Tegalega, yang terletak di selatan pusat kota Bandung, adalah tempat yang luas dan ideal untuk balapan kuda. Pada masa kolonial, lapangan ini sering digunakan untuk berbagai acara olahraga dan festival, termasuk balap kuda.

Pesta pacuan kuda yang dinamai Preanger Wedloop Societet tersebut diadakan di Tegallega Raceterrein atau yang sekarang menjadi Lapangan Tegalega. Dalam Bahasa Sunda, Tegallega berarti tegal yang lega atau lapang yang luas. Lahannya berbentuk segi empat, berbatasan dengan Jalan Ciateul (dulu Ciatulweg), Jalan Moh Toha (Oostweg), dan Jalan Otista (Tegallegawestweg), serta Jalan BKR (Tegallega Zuidweg).

 

Kegiatan dan Acara

Balap kuda di Bandung sering diadakan dalam rangka perayaan-perayaan tertentu atau acara khusus yang diadakan oleh masyarakat kolonial. Acara balap kuda biasanya menarik banyak penonton, baik dari kalangan elit Eropa maupun pribumi yang tertarik dengan olahraga ini. Selain balap kuda, sering kali ada juga acara hiburan lain, seperti musik dan pertunjukan, yang membuat acara tersebut semakin meriah.

 

Kuda dan Joki

Kuda-kuda yang digunakan dalam balap kuda di Bandung biasanya adalah kuda impor dari Eropa atau kuda lokal yang telah dilatih khusus untuk balapan. Joki-joki yang mengendarai kuda dalam balapan ini sering kali adalah orang-orang pribumi yang memiliki keterampilan dan pengalaman dalam menunggang kuda. Beberapa joki pribumi bahkan mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas keahlian mereka dalam balap kuda.

Balap kuda memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan pada masa kolonial di Bandung. Kegiatan ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi ajang pertemuan sosial bagi masyarakat elit. Selain itu, balap kuda juga memberikan dampak ekonomi melalui taruhan dan perdagangan kuda. Banyak peternak kuda dan pelatih yang mendapatkan keuntungan dari popularitas balap kuda.

Setelah Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, popularitas balap kuda mulai menurun seiring dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia. Lapangan Tegalega, yang dulunya menjadi pusat balap kuda, beralih fungsi menjadi ruang publik yang digunakan untuk berbagai kegiatan lain. Meskipun demikian, warisan balap kuda di Bandung masih dapat dilihat dalam sejarah dan budaya kota ini.