Sutradara Jon Favreau dan timnya telah bekerja keras untuk menciptakan keajaiban visual dalam film live-action “The Lion King.”
Dengan bantuan lebih dari 180 animator, mereka berhasil menghidupkan sekitar 86 spesies hewan yang menghuni Pride Lands dan sekitarnya.
Cerita klasik di padang rumput Afrika
Kisah dimulai di padang rumput Afrika dengan kelahiran calon raja, Simba. Simba mengagumi ayahnya, Mufasa, dan siap untuk menjalankan takdirnya sebagai pewaris takhta.
Namun, kehadiran Simba tidak disambut baik oleh semua orang, terutama pamannya, Scar, yang memiliki rencana licik untuk merebut kekuasaan.
Akibatnya, Simba diasingkan. Apakah Simba akan berhasil merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi miliknya?
Bukan dokumenter alam
Remake “The Lion King” membuktikan bahwa tidak semua film bisa lebih memuaskan dibandingkan versi aslinya.
Ceritanya tetap setia pada versi animasi, menggambarkan Pride Lands dengan segala konfliknya. Untuk penonton dewasa yang sudah familiar dengan ceritanya, film ini mungkin tidak menawarkan banyak kejutan.
Namun, untuk anak-anak, film ini bisa menjadi pengantar yang baik tentang tanggung jawab dan keberanian.
Realisme yang mengorbankan perasaan
Salah satu daya tarik utama dari “The Lion King” adalah animasi komputer yang luar biasa. Mulai dari kerutan di kulit gajah hingga detil rumput yang sangat nyata, karya sinematografer terkenal Caleb Deschanel benar-benar mengesankan.
Namun, saking nyatanya, film ini justru kehilangan karisma dan jiwa dari para karakternya. Ekspresi hewan yang dihasilkan tidak cukup mengena, membuat sulit untuk merasakan emosi yang seharusnya ditampilkan.
Musik dan suara yang menghidupkan
Meskipun visualnya mengesankan, film ini tidak mampu menyamai keagungan musik dari Hans Zimmer.
Musik dan efek suara, seperti auman singa, memang berhasil menambah sedikit ketegangan, tetapi tidak cukup untuk menggantikan kekurangan dalam emosi visual.
Pengisi suara bertabur bintang
Salah satu daya tarik lainnya adalah deretan pengisi suara bertabur bintang.
JD McCrary dan Shahadi Wright Joseph memberikan suara untuk Simba dan Nala kecil, sementara Donald Glover dan Beyoncé Knowles-Carter mengisi suara untuk versi dewasa mereka.
Meskipun para pengisi suara memberikan yang terbaik, mereka masih kurang mampu menyamai karisma dari versi animasinya.
Penampilan karakter yang menghibur
Untungnya, karakter Pumbaa dan Timon yang disuarakan oleh Seth Rogen dan Billy Eichner berhasil menghidupkan suasana dengan humor mereka.
Zazu, yang disuarakan oleh John Oliver, juga menambah keceriaan dengan dialog dan perilaku hewaninya.
Penampilan Scar (Chiwetel Ejiofor) dan Shenzi (Florence Kasumba) berhasil memberikan kontras yang jelas antara kebaikan dan kejahatan, meskipun tampilannya agak gelap untuk film “Semua Umur.”
Untuk siapakah film ini?
Jawabannya agak bias. Jika film ini untuk memperkenalkan “The Lion King” kepada generasi baru, maka cukup berhasil meskipun sedikit suram.
Namun, jika tujuannya untuk menghidupkan kembali nostalgia penonton dewasa, mungkin film ini kurang berhasil.
Meskipun bukan bencana atau film yang buruk, “The Lion King” versi live-action mungkin akan lebih baik jika mencoba menjadi dirinya sendiri tanpa terlalu berusaha untuk menjadi realistis.
Meskipun “The Lion King” versi live-action tidak sepenuhnya memuaskan nostalgia penggemar, film ini tetap akan menduduki takhta Box Office akhir pekan.
Dengan visual yang megah dan suara bertabur bintang, film ini menawarkan pengalaman menonton yang menghibur, meskipun tidak mampu sepenuhnya menangkap keajaiban dari versi aslinya.