in

The Good, the Bad and the Ugly: Keabadian Spaghetti Western Sergio Leone

the good the bad and the ugly

Sergio Leone adalah nama yang tak bisa dipisahkan dari genre Spaghetti Western, seperti halnya George Romero dengan film-film zombienya. 

Dalam perjalanan kariernya, Leone menyutradarai enam film western (salah satunya sebagai co-director), dengan trilogi dolar yang dibintangi oleh Clint Eastwood sebagai “The Man with No Name” menjadi pencapaian paling gemilang. 

Trilogi ini tidak hanya sukses besar di box office tetapi juga diakui secara kritis, menjadikannya salah satu film western terbaik sepanjang masa. 

The Good, the Bad and the Ugly adalah bagian terakhir dari trilogi tersebut dan bisa dibilang yang paling terkenal, meraih pendapatan hingga $25 juta dan terus menjadi inspirasi bagi banyak film, termasuk The Good, the Bad and the Weird karya Kim Jee-woon.

Karakter utama dan plot film

Seperti judulnya, The Good, the Bad and the Ugly menyoroti tiga karakter utama yang sangat berbeda: Blondie (Clint Eastwood) sebagai “The Good”, Angel Eyes (Lee Van Cleef) sebagai “The Bad”, dan Tuco (Eli Wallach) sebagai “The Ugly”. 

Blondie adalah seorang pemburu hadiah yang pernah menangkap Tuco sebagai buronannya. Mereka sempat bekerja sama untuk berbagi uang dengan Blondie pura-pura menangkap dan kemudian membebaskan Tuco. 

Namun, setelah Blondie meninggalkan Tuco di padang pasir, Tuco bertekad membalas dendam. Sementara itu, Angel Eyes adalah seorang pembunuh bayaran kejam yang selalu menyelesaikan tugasnya. 

Ketiga karakter ini, yang awalnya memiliki tujuan masing-masing, akhirnya terlibat dalam pencarian emas tersembunyi di sebuah pemakaman.

Gaya penyutradaraan dan tempo film

The Good, the Bad and the Ugly adalah contoh film yang mengedepankan elemen yang semakin langka di era modern. 

Film ini mengawali dengan suasana sunyi dan minim dialog, padahal adegan pembukaannya sebenarnya adalah baku tembak. Sergio Leone berhasil menciptakan suasana padang gurun yang gersang dan sunyi dengan sangat efektif. 

Meskipun film ini berdurasi 177 menit, tempo lambatnya tidak membuat penonton merasa bosan. Ini berkat pengemasan yang langka di zaman CGI dan efek ledakan yang dominan saat ini.

Keunikan dan kesederhanaan dalam film

Keberhasilan The Good, the Bad and the Ugly terletak pada kesederhanaannya. Leone tidak memasukkan “impossible shoot” dalam adegan baku tembaknya, dan karakter-karakternya tetap realistis. 

Tuco, yang berkarakter komikal, tidak terasa berlebihan, sedangkan Blondie dan Angel Eyes memiliki ciri khas masing-masing. Blondie adalah sosok cool, Tuco penuh tingkah, dan Angel Eyes kejam. 

Tidak ada karakter yang benar-benar putih atau sepenuhnya jahat, bahkan Blondie yang dikenal sebagai “The Good” tetap merupakan antihero. Tuco, meskipun awalnya terlihat konyol, berkembang menjadi karakter yang berbahaya. 

Meskipun Angel Eyes mendapatkan waktu tayang yang lebih sedikit, ketiga karakter ini digambarkan dengan mendalam.

Kritis dan relevansi film

Leone tidak hanya berhasil membuat film western yang stylish tetapi juga menyisipkan kritikan tersirat terhadap perang sipil. 

Film ini menunjukkan betapa kejamnya perang, sering kali merenggut nyawa tanpa makna, jauh lebih mematikan daripada para outlaw dalam film ini. 

Ini adalah salah satu kehebatan terbesar Leone dalam menyajikan film western yang tidak hanya menghibur tetapi juga mengandung pesan mendalam.

The Good, the Bad and the Ugly mungkin bukan film western terbaik sepanjang masa jika diukur dari banyaknya film western yang ada. 

Namun, bagaimana Sergio Leone mengemas kisah epiknya dengan gaya unik dan realisme yang kuat, membuat film ini tetap mengasyikkan untuk ditonton. 

Film ini tetap relevan dan menghibur meskipun telah dirilis lebih dari 48 tahun lalu, menunjukkan keabadian gaya penyutradaraan Leone yang tak lekang oleh waktu.