Film Jojo Rabbit yang disutradarai oleh Taika Waititi berhasil mencuri perhatian di ajang Academy Awards 2020.
Film ini memenangkan penghargaan Oscar untuk kategori Best Adapted Screenplay* dan juga menjadi salah satu nominasi untuk kategori Best Picture.
Mengadaptasi novel Caging Skies karya Christine Leunens, Jojo Rabbit mengisahkan tentang seorang anak bernama Johannes Betzler, atau yang lebih akrab dipanggil Jojo, yang hidup di masa Perang Dunia II.
Perspektif Baru Tentang Perang Dunia II
Dalam dunia sinema, kita telah sering melihat berbagai sudut pandang mengenai Perang Dunia II, mulai dari kisah seorang pianis Yahudi dalam The Pianist (2002) hingga seorang pengusaha yang awalnya hanya mengejar keuntungan dalam Schindler’s List (1993).
Namun, Jojo Rabbit menghadirkan sesuatu yang berbeda. Dengan sentuhan khas humor Taika Waititi, film ini berhasil membawakan cerita perang dengan pendekatan satir yang unik.
Jojo, yang bergabung dalam kelompok pemuda yang didoktrin untuk mendukung rezim saat itu, memiliki teman imajinasi yang tak lain adalah Adolf Hitler.
Namun, keyakinan Jojo mulai goyah ketika ia menemukan seorang gadis bernama Elsa bersembunyi di rumahnya dengan bantuan ibunya. F
ilm ini secara cerdas mengungkap bagaimana ideologi tertentu dapat mempengaruhi anak-anak sejak usia dini, dan bagaimana mereka mulai menyadari kenyataan yang sebenarnya ketika dihadapkan pada situasi yang tidak terduga.
Sentuhan Komedi Satir yang Menggugah Pikiran
Taika Waititi, yang dikenal dengan gaya komedinya yang segar, membawa unsur humor ke dalam cerita yang sebenarnya serius dan berat.
Pada awal film, penonton akan terkejut sekaligus terhibur dengan adegan dimana Jojo kecil dengan semangat berteriak semboyan tertentu.
Namun, dibalik humor tersebut, film ini juga mengajak kita untuk merenung tentang dampak indoktrinasi pada anak-anak.
Jojo Rabbit tidak hanya sekadar menawarkan tawa, tetapi juga menyajikan realita pahit bagaimana anak-anak di masa perang seringkali kehilangan masa kecil mereka yang seharusnya diisi dengan kebahagiaan, bukan dengan propaganda.
Salah satu kutipan dari Rosie, ibu Jojo, yang menyatakan bahwa “Anak usia sepuluh tahun seharusnya tidak merayakan perang atau berbicara politik,” sangat menggambarkan bagaimana perang mencuri masa kecil anak-anak.
Visual yang Memikat dengan Nuansa Retro
Meski mengangkat tema yang serius, Jojo Rabbit dikemas dengan visual yang ceria dan penuh warna. Nuansa retro dan referensi budaya pop menjadi elemen kuat dalam film ini.
Sejak pembukaan, kita sudah disambut dengan lagu “I Wanna Hold Your Hand” dari The Beatles yang dinyanyikan dalam bahasa lain, memperlihatkan bagaimana pemimpin saat itu dipuja layaknya idola pop.
Desain produksi yang menampilkan kota, interior, hingga kostum yang penuh warna dan gaya retro memberikan kesan kontras dengan tema perang yang dibawakan.
Scarlett Johansson, yang memerankan Rosie, tampil mencolok dengan gaya berpakaian yang modis, mencerminkan semangat hidup yang berusaha dipertahankan di tengah situasi sulit.
Penampilan Aktor yang Unik dan Menggemaskan
Film ini juga menjadi debut yang mengesankan bagi aktor muda Roman Griffin sebagai Jojo dan Archie Yates sebagai Yorkie. Keduanya tampil memikat dan menggemaskan, memberikan nuansa segar di tengah cerita yang penuh dengan ketegangan.
Chemistry yang terbangun antara Jojo dan Yorkie dalam film ini memberikan momen-momen ringan yang sangat dibutuhkan di tengah narasi yang serius.
Aktor-aktor lain dalam film ini juga memberikan penampilan yang solid, mulai dari Taika Waititi yang memerankan tokoh imajinasi Adolf hingga Scarlett Johansson yang memerankan ibu Jojo dengan penuh emosi dan ketulusan.
Secara keseluruhan, Jojo Rabbit adalah film yang sukses menggabungkan elemen komedi dan drama dengan latar belakang sejarah yang kelam.
Taika Waititi berhasil mengangkat sisi lain dari Perang Dunia II melalui sudut pandang seorang anak yang polos, menghasilkan sebuah karya yang tak hanya menghibur, tetapi juga menggugah hati dan pikiran.