Erik ten Hag menunjukkan ketangguhan yang sering membuatnya tampak berjalan sendirian dalam menangani Manchester United. Setelah kemenangan mengejutkan melawan Manchester City di final Piala FA, dia merasa semakin percaya diri dan bahkan mengatakan, “Jika mereka tidak menginginkanku, aku akan pergi ke tempat lain untuk memenangkan trofi.” Namun, meskipun Manchester United awalnya mempertahankannya, mereka kini mengambil keputusan untuk berpisah dengannya.
Final Piala FA menjadi anomali dalam perjalanan yang diliputi penurunan performa selama 14 bulan. Ten Hag mungkin bisa mengklaim bahwa dia mengakhiri penantian enam tahun United untuk meraih gelar, namun kepemimpinannya juga membawa United ke titik terendah dalam sejarah mereka. Ia, yang awalnya dianggap sebagai manajer terbaik sejak Sir Alex Ferguson, malah menjadi sosok yang gagal mempertahankan momentum. Selama periode ini, United mengalami kampanye Liga Champions terburuk dengan hanya satu kemenangan dalam 11 laga terakhir di Eropa. Musim lalu juga mencatatkan posisi Premier League terendah mereka dengan finis di peringkat delapan dan catatan selisih gol negatif.
Rekor tandang United melawan tim-tim besar sangat buruk, hanya satu kemenangan dari 15 pertandingan melawan delapan besar, dan tujuh poin dari total 45. Kekalahan memalukan 7-0 di Anfield menjadi puncak kegagalan. Di musim ini, sementara cedera yang dulu dijadikan alasan kini berkurang, masalah tetap menghantui Ten Hag. Banyak lawan terlihat lebih terorganisir, dan gaya bermain United yang kacau membuat mereka sering kebobolan banyak tembakan dan gol dalam setiap pertandingan. Ten Hag seakan kehilangan arah dengan taktik “formasi donat” yang sering meninggalkan celah besar di lini tengah.
Erik ten Hag dan sistem perekrutan atlet
Perekrutan Casemiro sempat memperbaiki tim, tetapi kemerosotannya memperjelas kebijakan transfer United yang bermasalah. Selama masa Ten Hag, United menghabiskan lebih dari £600 juta dengan beberapa pemain, terutama Antony yang dibeli seharga £86 juta, justru menjadi pembelian yang buruk. Upaya memperkuat tim dengan pemain dari Eredivisie sering gagal memberikan hasil yang diharapkan di Liga Inggris.
Pada musim pertamanya, Ten Hag sempat mendapat reputasi positif dengan memenangkan konflik internal, seperti menjatuhkan Cristiano Ronaldo dan Harry Maguire, dan mengembalikan performa Marcus Rashford. Namun, seiring waktu, keputusan-keputusannya menjadi semakin tidak konsisten. Beberapa pemain kerap berganti posisi dan waktu bermain tanpa alasan yang jelas, dan beberapa pilihan taktisnya, seperti menempatkan Antony sebagai bek kiri dan Bruno Fernandes di lini pertahanan dalam satu pertandingan, menunjukkan kebingungan dalam manajemen taktik.
Drama seputar Jadon Sancho juga semakin memperburuk situasi. Di tengah ketidakstabilan internal dan kegagalan dalam berbagai laga, reputasi Ten Hag terus tergerus. Dalam momen kejayaan usai kemenangan di final Piala FA, Ten Hag pernah menyatakan bahwa dia datang untuk memperbaiki United yang berantakan. Namun, setelah serangkaian kekalahan dan ketidakberdayaan dalam mengatasi tantangan, ia pun meninggalkan United dalam kondisi yang masih jauh dari harapan awal.