in

Ulasan Film Satu Hari Nanti (2017), Kisah Cinta di Swiss

Satu Hari Nanti

Di tengah ramainya film Indonesia yang berfokus pada genre drama remaja, komedi dan horor, Satu Hari Nanti hadir sebagai upaya berani untuk menyuguhkan tema dewasa. 

Film ini adalah karya Salman Aristo, yang sebelumnya dikenal lewat naskah film seperti Catatan Akhir Sekolah, Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta. 

Dengan sinematografi indah berlatar Swiss dan deretan aktor ternama, film ini memiliki ekspektasi tinggi, namun sayangnya kurang mampu memenuhi janji tersebut.

Kisah Dua Pasangan dan Hubungan yang Rumit

Film ini menceritakan perjalanan dua pasangan yang tinggal di Swiss: Alya (Adinia Wirasti) dan Bima (Deva Mahenra) serta Chorina (Ayushita Nugraha) dan Din (Ringgo Agus Rahman). 

Konflik muncul saat Alya dan Bima menghadapi perbedaan pandangan setelah tiga tahun bersama. Alya pindah ke Swiss untuk mengejar kariernya di bidang kuliner, sementara Bima yang seorang musisi menyusul demi cinta.

Di sisi lain, hubungan Chorina dan Din juga diwarnai konflik. Din sering tidak setia karena menciptakan ketegangan dalam hubungan mereka. 

Kondisi semakin rumit ketika muncul ketertarikan antara Alya dengan Din, serta Bima dengan Chorina. Perselingkuhan terjadi yang dimana menguji makna cinta dan komitmen dalam hubungan mereka.

Pendekatan Berbeda yang Gagal Eksekusi

Satu Hari Nanti mencoba menghadirkan cerita yang tidak menghakimi. Karakter-karakter dalam film ini digambarkan dengan sudut pandang manusiawi dan tidak sepenuhnya baik atau buruk. 

Namun, usaha ini tidak sepenuhnya berhasil. Karakter-karakter terasa kurang konsisten. Hal ini sering kali membuat penonton bingung dengan tindakan dan keputusan mereka.

Alur cerita yang bertele-tele juga menjadi kelemahan utama. Dengan durasi 122 menit, film ini terasa panjang dan melelahkan. 

Alih-alih menggali konflik dengan mendalam, cerita sering kali berputar-putar tanpa arah yang jelas. Hal ini membuat film kehilangan fokus dan momentum.

Penampilan Para Pemain

Dari segi akting, hanya Adinia Wirasti yang berhasil mencuri perhatian. Sebagai Alya, Adinia memberikan performa yang solid dan penuh emosi. 

Namun, kelemahan naskah dan penyutradaraan membuat peran lainnya terasa kurang maksimal. Ringgo Agus Rahman, misalnya, terlihat kurang meyakinkan sebagai karakter Din. 

Karisma yang diperlukan untuk perannya tidak berhasil disampaikan, sehingga sulit membuat penonton percaya akan daya tariknya.

Ayushita dan Deva Mahenra juga menghadapi tantangan serupa. Ayushita tampak terlalu muda untuk memerankan seorang profesional yang matang, sementara Deva tampil datar tanpa dinamika yang berarti. 

Chemistry antar karakter juga kurang terbangun, sehingga banyak momen emosional dalam film terasa kosong.

Sinematografi yang Menawan, Namun Dangkal

Sinematografi oleh Faozan Rizal adalah salah satu elemen terbaik dalam film ini. Pemandangan Swiss yang memukau menjadi daya tarik visual yang memanjakan mata. 

Sayangnya, elemen ini terasa hanya sebagai hiasan. Latar Swiss lebih terlihat seperti brosur wisata dibandingkan sebagai bagian integral dari cerita.

Satu Hari Nanti adalah film dengan niat baik dan pesan yang ingin disampaikan. Namun, eksekusi yang kurang matang membuatnya gagal memberikan dampak yang diharapkan. 

Alur cerita yang membingungkan, karakter yang tidak konsisten dan chemistry yang minim menjadi penghalang utama. Meskipun menyajikan visual yang indah, film ini kehilangan substansi dalam bercerita. 

Jika kamu mencari film yang menawarkan eksplorasi mendalam tentang hubungan dewasa, Satu Hari Nanti mungkin bukan pilihan terbaik.